Selasa, 27 Januari 2009

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK

TUGAS TERSTRUKTUR
MAKALAH KELOMPOK II
MATA KULIAH
PENGANTAR PENDIDIKAN

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
(Subjek Pendidikan; Penentu Progresivitas Bangsa)

Dosen Pembimbing:
Drs. Agus Wedi, M.Pd








Oleh:
KELOMPOK II
12 Firmansyah 18 Hermelinda Mol
13 Vidia Soviana 19 Sari Ratna Hidayati
14 Ma’shum Syah 20 Samsul Huda
15 Anang Fauzi 21 Christina Maria Agustin
16 Ajizah Umami 22 Linda Mustika Hartiwi
17 Rahmat Marzuki

KELAS A
PROGRAM AKTA IV
INSTITUT KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN BUDI UTOMO
(IKIP BUDI UTOMO)
MALANG
2008

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
(Subjek Pendidikan; Penentu Progresivitas Bangsa)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN
1. Siapa yang disebut pendidik dan bagaimana idealnya?
2. Siapa yang disebut peserta didik dan bagaimana idealnya?
3. Apa tujuan pendidikan nasional dan bagaimana interaksi pendidik dengan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan nasional?
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pendidik
1. Terminologi Pendidik
2. Fungsi dan Peran Pendidik
3. Mainstream Pendidik Yang Ideal
B. Peserta Didik
1. Terminologi Peserta Didik
2. Fungsi dan Peran Peserta Didik
3. Mainstream Peserta Didik Yang Ideal
C. Interaksi dan Tujuan Pendidikan
1. Interaksi Pendidik dan Peserta Didik
2. Tujuan Pendidikan Nasional
3. Sinergi Pendidik dan Peserta Didik Dalam Mencapai Tujuan Pendidikan Nasional
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA







PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
(Subjek Pendidikan; Penentu Progresivitas Bangsa)

BAB I.
PENDAHULUAN
Pendidik dan anak didik, keduanya merupakan unsur paling vital di dalam proses belajar mengajar. Sebab, seluruh proses, aktivitas orientasi serta relasi-relasi lain yang terjalin untuk menyelenggarakan pendidikan selalu melibatkan keberadaan pendidik dan peserta didik sebagai aktor pelaksana atau subjek pendidikan. Hal itu seirama dengan pendapat Soemardhi Thaher, Sekjen PB PGRI yang menyatakan: ”Bagaikan sinetron dengan judul "meningkatkan mutu pendidikan" maka aktor atau pemain utamanya di lembaga pendidikan adalah "guru dan murid". Guru mengajar, murid belajar, guru mendidik, murid di didik, guru membimbing dan murid dibimbing, guru melatih, murid dilatih. Keduanya terlibat dalam proses pendidikan yang kreatif, dinamis dan demokratis dalam suasana kebatinan yang saling menyayangi, saling menghargai dan saling mempercayai.” (Soemardhi Thaher, anggota DPD-RI / Sekretaris Jenderal PB.PGRI)
Hal itu sudah menjadi syarat mutlak atas terselenggarakannya suatu kegiatan pendidikan. Dengan mendasarkan pada pengertian bahwa pendidikan berarti usaha sadar dari pendidik yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas peserta didik, terkandung suatu makna bahwa proses yang dinamakan pendidikan itu tidak akan pernah berlangsung apabila tidak hadir pendidik dan peserta didik dalam rangkaian kegiatan belajar mengajar. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan pilar utama terselenggarakannya aktivitas pendidikan.
Sebagai subjek pendidikan, mestinya antara Pendidik dengan Peserta Didik terjadi sinergi yang proporsional dalam mencapai tujuan pendidikan. Namun yang sering kita jumpai justru superioritas Pendidik atas Inferioritas Peserta Didik yang menjadikan stagnasi transformasi nilai pendidikan dan tiadanya progresivitas bangsa dari sektor pendidikan. Sebagai gambaran, problem interaksi antara Pendidik dengan Peserta didik yang masih belum harmonis, seperti:
1. Sebagian guru hubungannya dengan siswa kurang harmonis
2. Sebagian guru suka meremehkan siswa/kurang menghargai siswa
3. Sebagian guru (para wali kelas) kurang mengenal siswa
4. Sebagian guru kurang berkomunikasi dengan siswa di dalam kelas
5. Sebagian guru pilih kasih terhadap siswa lainnya
Selain itu, murid juga mempunyai problem tersendiri. Zaman modern ini mereka maknai sebagai zaman kebebasan. Guru yang mereka pilih seringkali adalah media elektronik dan media massa yang menyajikan gemerlapnya zaman globlalisasi. Yang menjadi perhatian mereka bukan ilmu pengetahuan dan teknologinya, melainkan live style dan pola pergaulan, sehingga mereka cenderung mengesampingkan guru real yang sering mengajar mereka di sekolah.
Beberapa problem di atas yang melatarbelakangi tema diskusi kita ”Pendidik dan Peserta didik (Subjek Pendidikan; Penentu Progresivitas Bangsa)”. Dan dari hal tersebut menimbulkan kegundahan di benak kami, hingga memunculkan pertanyaan:
1. Siapa yang disebut pendidik dan bagaimana idealnya?
2. Siapa yang disebut peserta didik dan bagaimana idealnya?
3. Apa tujuan pendidikan nasional dan bagaimana interaksi pendidik dengan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan nasional?
Ketiga masalah tersebut akan dikupas dalam Bab Pembahasan berdasarkan komentar dari praktisi dan pemerhati pendidikan dan tentunya analisa kami pribadi dalam mencapai klonklusi dari masalah yang kami ajukan.
















BAB II.
PEMBAHASAN
A.Pendidik
1. Terminologi Pendidik
Sebelum pembahasan mengenai guru kami eksplanasikan berdasarkan berbagai pendapat para tokoh pendidikan, harus kita sadari bahwa Pendidik memiliki banyak pengertian bergantung siapa yang mendefinisikannya. Terlebih kata pendidik belum begitu familiar di kalangan masyarakat luas. Yang banyak diketahui adalah tentang Guru dan profil guru.
Pengertian sederhana sebagaimana banyak dipahami orang, Guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik. Ada anggapan lain bahwa Guru itu siapapun yang bisa menularkan ilmu dan pengalamannya kepada kita. Entah itu disadari atau tidak, dari obrolan (informal), tulisan ataupun dari prestasi yang telah diraih.
Dari sinilah kami lebih menyepakati istilah Pendidik dari pada Guru, karena Pendidik lokusnya lebih luas dan komprehensif daripada Guru.
Hal itu sesuai yang tertera dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 6 berbunyi ”Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.” Selanjutnya dijelaskan pula dalam Bab XI Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 39 Ayat 2 ”Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi” dan Ayat 3 ”Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen”.
Sedangkan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1 ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah” dan Ayat 2 ”Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.”
Ghozi Yusuf juga memakai istilah Pendidik dalam bukunya Ilmu Pendidikan yang terbit di tahun 1977. Menurutnya Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan (subjek pelaksana pendidikan). (Ghozi Yusuf, 1977; 9).
Meskipun kami lebih menyetujui istilah Pendidik, namun commonsense juga layak diikuti dengan menggunakan istilah guru. Seseorang dikatakan sebagai guru tidak cukup tahu sesuatu materi yang akan diajarkan, tetapi pertamakali ia harus merupakan seseorang yang memang memiliki kepribadian guru, dengan segala ciri tingkat kedewasaannya. Dengan kata lain, bahwa untuk menjadi seorang pendidik ia harus berkepribadian. Masalahnya yang terpenting adalah mengapa seorang guru itu dikatakan seorang pendidik? Guru memang seorang pendidik, sebab dalam pekerjaannya ia tidak hanya mengajar seseorang agar tahu beberapa hal, tetapi guru juga melatih beberapa ketrampilan dan terutama sikap mental anak didik. Mendidik sikap mental seseorang tidak hanya cukup mengajarkan sesuatu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan dididikkan, dengan guru sebagai idolanya.
2. Fungsi dan Peran Pendidik
Berbicara tentang fungsi dan peran pendidik, sebenarnya sudah sangat banyak difahami orang banyak. Terminologi pendidik itu sendiri sudah menunjukkan fungsi dan peran sang pendidik terhadap anak didiknya. Berbagai opini tentang peran dan fungsi pendidik juga sudah banyak dikemukakan oleh para tokoh pendidikan. Masing-masing memiliki sudut pandang sendiri. Karena itulah, sebagai perspektif awal tentang fungsi dan peran pendidik kami tohok dari Undang-undang Sisdiknas. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan tentang hak dan kewajiban Pendidik dalam Bab XI Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 40 Ayat:
1. Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh:
a. Penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai
b. Penghargaan yang sesuai dengan tugas dan prestasi kerja
c. Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas
d. Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual, dan
e. Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas
2. Pendidik dan Tenaga Kependidikan berkewajiban:
a. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis
b. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
c. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya
Sesuai dengan ketentuan lec specialis derogate lec generalis (hukum yang lebih khusus mengalahkan hukum yang lebih umum), maka peran pendidik lebih bijaksana kita lihat dari undang-undang guru dan dosen. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Kedudukan, Fungsi dan Tujuan, Pasal 4 berbunyi ”Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.” Pasal 5 ”Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.”
Sementara itu, peranan guru di sekolah ditentukan oleh kedudukanya sebagai orang dewasa, sebagai pengajar dan pendidik serta sebagai pegawai. Yang paling utama adalah kedudukaannya sebagai pengajar dan pendidik, yakni sebagai guru. Proses pendidikan banyak terjadi dalam interaksi sosial antara murid dan guru. Sifat interaksi ini banyak bergantung pada tindakan guru yang ditentukan antara lain oleh tipe peranan guru. Bagaimana reaksi murid terhadap peranan guru dapat diketahui dari ucapan murid tentang guru itu.
Sebagai lanjutan atau penyempurnaan peranan guru sebagai pendidik, maka harus berperan juga sebagai pembimbing. Membimbing dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan atau menuntun anak didik dalam perkembangannya dengan jalan memberikan lingkungan dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. (Sardiman A.M, 1992; 138).
Disamping fungsi-fungsi guru itu, yang juga penting adalah bagaimana guru melihat dirinya sendiri, apakah ia memandang dirinya sebagai pemimpin yang paling berkuasa, atau sebagai orang tua, sebagai teman yang lebih tua yang membantu murid kalau diperlukan. Pandangan ini akan ikut menentukan cork hubungan yang terjadi antara guru dengan murid. (Singgih D.G dan Yulia Singgih D.G,, 1995; 113).
Sebab pendidik adalah subjek pendidikan, maka Pendidikan adalah usaha pendidik mempimpin anak didik dalam arti khusus misalnya memberikan dorongan atau motivasi dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak didik. (Sardiman A.M, 1992; 139)
Sehubungan dengan perannya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing, maka diperlukan adanya berbagai peranan pada diri guru. Peranan guru ini akan senantiasa menggambarkan pola tingkah laku yang diharapkan dalam berbagai interaksinya, baik dengan siswa (yang terutama), sesama guru, maupun dengan staf lainnya. Sardiman mengemukakan pendapat Havighurst tentang peranan guru: “peranan guru di sekolah adalah sebagai pegawai dalam hubungan kedinasan, sebagai bawahan terhadap atasannya, sebagai kolega dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur disiplin, evaluator dan pengganti orang tua”. (Sardiman AM, 1992; 141).
Sedangkan menurut Nana Sudjana, peranan guru dalam pengajaran adalah:
1. Pemimpin belajar, artinya merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan dan mengontrol kegiatan siswa belajar
2. Fasilitator belajar, artinya memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya
3. Moderator belajar, yakni sebagai pengatur urusan kegiatan belajar siswa
4. Motivator belajar, ialah pendorong agar siswa mau melakukan kegiatan belajar
5. Evaluator belajar, adalah sebagai penilai yang objektif dan komprehensif. (Nana Sudjana, 1996; 32-35).
Menurut S. Nasution dalam bukunya Sosiologi Perndidikan menjelaskan “Peranan guru dalam hubungannya dengan murid bermacam-macam menurut situasi interaksi sosial yang dihadapinya, yakni situasi formal dalam proses belajar mengajar dalam kelas dan dalam situasi informal. Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar anak dalam kelas guru harus sanggup menunjukkan kewibawaan atau otoritasnya, artinya ia harus mampu mengendalikan, mengatur dan mengontrol kelakukan anak. Kalau perlu ia dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa anak belajar, melakukan tugasnya atau memmatuhi peraturan. Dengan kewibawaan ia menegakkan disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses belajar mengajar.” (S. Nasution, 1995; 92)
Dari apa yang dijelaskan di atas, jelas bahwa pelaksanaan peranan guru dalam penciptaan hubungan yang baik dengan anak didik dalam proses belajar mengajar dapat dilakukan dengan mengendalikan, mengatur, mengontrol kelakuan siswa di dalam proses belajar mengajar berlangsung, agar para siswa dapat belajar dengan tenang. Dan setiap kelakukan yang dapat menyinggung serta membuat siswa takut harus dihindari. Menciptakan hubungan baik antara guru dengan murid merupakan faktor terpenting keberhasilan guru dalam mengajar. Kualitas hubungan guru dengan murid sangat memegang peranan penting dalam menjalankan peranannya sebagai pengajar dan pendidik.
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Dari berbagai paparan di atas, maka menurut hemat kami peran Pendidik yang sesuai adalah sebagaimana tereksplisit dlam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sementara peran pendidik menurut berbagai tokoh adalah pengembangan dari prinsip dasar yang tereksplisit dalam kedua undang-undang tersebut.


3. Mainstream Pendidik Yang Ideal
Mainstream pendidik yang ideal memang masih meninggalkan pertentangan pendapat antara banyak opini yang berkembang dan dari perspektif siapa yang mengemukakan. Namun demikian, alangkah bijaksananya jika kita lihat terlebih dahulu undang-undang tentang guru dan dosen dan bagaimana profil pendidik yang ideal menurut yang tertera.
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab III
Prinsip Profesionalitas, Pasal 7 Ayat 1 ”Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.”
Selain itu dijelaskan pula pada Bab IV Guru, Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Pasal 20 Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa;
Dari esensi mainstream ideal pendidik dalam undang-undang di atas, maka derivasinya adalah berbagai pendapat tokoh berikut.
Bila seseorang mengajar, ini berarti ia telah mengemban tugas moral, yaitu tugas moral sebagai orang yang dianggap dapat menurunkan apa yang ia miliki untuk memberikan pengetahuannya. Tugas moralnya ialah dia tidak akan mengkhianati ilmu pengetahuannya, untuk menjadikan anak seorang manusia yang berguna. Inilah citra keguruan. Yang idela adalah, disamping guru mengajarkan ilmu pengetahuan, juga sebagai pengganti orang tua di sekolah, menyelami jiwa murid-muridnya.
Ghozi Yusuf mengatakan guru yang ideal, ialah yang memenuhi syar-syarat berikut:
1. Guru harus berijazah lahir maupun batin
2. Guru harus berbadan sehat ruhani kuat
3. Guru harus berbudi pekerti yang baik (luhur)
4. Guru itu harus sabar dan bijaksana
5. Guru harus mempunyai perasaan cinta terhadap anak didik
6. Guru itu harus berwibawa (gezag)
7. Guru harus bertanggung jawab moril maupun materiil
8. Guru harus berjiwa demokratis
9. Guru harus berjiwa nasional (Ghozi Yusuf, 1977; 9-10)
Menurut M. Uzer Usman bahwa: “Satu Prinsip pengajaran kelompok kecil dan perorangan adalah terjadinya hubungan akrab dan sehat antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa. Hal ini dapat terwujud apabila guru memiliki ketrampilan berkomunikasi secara pribadi yang diciptakan antara lain:
1. Mewujudkan kehangatan dan kepekaan terhadap kebutuhan siswa baik kelompok kecil maupun perorangan
2. Memberikan respon positif terhadap buah pikir siswa
3. Membangun hubungan yang saling mempercayai
4. Menunjukkan kesiapan untuk membantu siswa
5. Menerima perasaan siswa dengan penuh pengertian dan terbuka
6. Berusaha mengendalikan situasi sehingga siswa merasa aman, penuh pemahaman, dan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.” (M. Uzer Usman, op cit,h98-99)
Menurut Michael Marland dalam bukunya Seni Mengelola Kelas menyatakan “untuk menciptakan hubungan yang baik dengan murid adalah anda harus merencanakan tujuan jangka panjang, menciptakan bermacam-macam prosedur kelas yang teratur dan sistematis, yang memberi kesempatan bagi terciptanya hubungan baik. Hal ini dapat dilalui dengan cara, anda tidak boleh meremehkan. Jangan berpendapat bahwa andalah orang yang menyenangkan yang pertamakali mereka temui. Selain itu, anda juga tidak boleh beranggapan bahwa kemauan anda untuk mengadakan hubungan baik akan mendapatkan hasil yang sepadan. Anda harus bekerja keras, dengan penuh kesabaran dan keahlian. Anda harus merencanakan tujuan jangka panjang, menciptakan bermacam-macam prosedur kelas yang teratur dan sistematis, yang memberi kesempatan bagi terciptanya hubungan baik tersebut. Berikan senyuman anda pada saat yang tepat. Senyuman itu akan memberi manfaat besar secara psikologis. Namun sangat besar bahayanya jika anda banyak mengobral senyum pada kelas yang baru anda masuki, hanya ingin mendapat kepopulera.” (Michael Marland, 1990; 17)
Selanjutnya Michael mengatakan “Kedisiplinan menciptakan suasana damai, yang sangat perlu untuk tumbuhnya hubungan yang positif. Hal kedua, yaitu menciptakan hubungan baik dengan menempatkan diri kita sebagi guru. Pengajaran yang kiota berikan janganlah hanya sebagai objek, tetapi kita hendaknya mewujudkan seolah-olah sebagai sesuatu yang istimewa, sesuatu yang tidak mungkin didapat dari orang lain. Seorang guru jangan terperangkap dalam pandangan sosial masyarakat terhadap murid-muridnya yang berasal dari kelas-kelas sosisal tertentu. Ketiag, merencanakan motivasi yang setinggi-tingginya. Dan hal yang keempat, guru adalah seorang pemimpin, mengingat tanggung jawabnya terhadap sekelompok murid. Sebagai guru, anda harus mampu menguasai sekelompok murid tersebut. Kemampuan untuk itu harus dipergunakan secara tegas dan sangat hati-hati, tetai harus ada. Tyidak ada gunanya, anda merasa khawatir untuk menguasai murid-murid, entah dengan alasan untuk menjaga hubungan baik atau pun untukmemungkinkan perkembangan individu mereka”. (Michael Marland, 1990; 23-38)
Ketrampilan yang harus dimiliki guru menurut M. Uzer Usman, yakni:
1. Membantu mengembangkan sikap positif pada diri murid
a. Membantu siswa untuk menumbuhkan kepercayaan pada diri siswa
b. Membantu mengungkapkan buah pikir dan perasaan siswa
2. Bersikap terbuka dan luwes terhadap siswa
a. Menunjukkan sikap terbuka terhadap pendapat siswa
b. Menunjukkan sikap luwes baik di dalam maupun di luar kelas
c. Menerima siswa sebagaimana adanya (dengan kelebihan dan kekuarangannya)
d. Menunjukkan sikap sipatik dan sensitif terhadap perasaan dan kesulitan siswa
e. Menunjukkan sikap ramah, penuh pengertian dan kesadaran terhadap siswa
3. Menampilkan kegairahan dan kesungguhan dalam kegiatan mengajar
a. Menunjukkan kegairahan dalam mengajar
b. Memberikan kesan kepada siswa bahwa ia menguasai matari dan cara mengajarkannya
4. Mengelola Interaksi perilaku di dalam kelas
a. Mengembangkan hubungan antar pribadi yang sehat dan serasi
b. Memberikan tuntunan agar interaksi siswa terpelihara dengan baik
c. Menangani perilaku siswa yang tidak diinginkan (M. Uzer Usman, op cit, h; 127-128)
Dalam bukunya Sosiologi Pendidikan S. Nasution menyampaikan hasil penelitian Frank Hart tahun 1934 bahwa: “Guru yang disukai itu bila ia berperikemanusiaan, bersikap ramah, bersahabat, suka membantu dalam pelajaran, riang, gembira, mempunyai rasa humor, menghargai lelucon. Sifat-sifat yang dihargai murid itu sesuai dengan gambaran guru yang demokratis. Dan dalam penelitian lainnya didapatkan bahwa yang paling disenangai oleh para siswa adalah guru yang ramah, yang paling sering ikut serta dalam kegiatan rekreasi mereka, yang dapat dipercayakan soal-soal pribadi dan yang suka membantu dalam pelajaran. Singkatnya, secara umum guru yang disenangi ialah guru yang sering dimintai nasehat, yang mau diajak bercakap-cakap, tidak menunjukkan superioritasnya dalam pergaulannya sehari-hari dengan murid, selalu ramah, selalu berusaha memahami anak didiknya. Kalau guru itu disenangi siswanya, hal itu berarti hubungan guru dengan siswanya sudah terjalin dengan baik, dan kalau sudah demikian gru lebih mudah lagi dalam mengajar, membantu siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar dan lain-lain, sehingga prestasi siswa tentu akan lebih meningkat lagi. ”
Di lain pihak, Efektivitas dan efisiensi belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan mengenai peran guru sebagai fasilitator, maka sikap dan perilaku guru harus memperhatikan beberapa hal di bawah ini agar sukses:
1. Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku utama dalam pembelajaran, maka sebagai fasilitator guru harus memberi kesempatan agar siswa dapat aktif. Upaya pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa bisa dilakukan sedikit demi sedikit.
2. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
3. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
4. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
5. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
6. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
7. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
8. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
9. Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
10. Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
11. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan
Demikian mengenai bagaimana idealnya pendidik dengan mengacu dari sisi undang-undang dan mengkomparasikan derivasinya dari pendapat berbagai tokoh.

B. Peserta Didik
1. Terminologi Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya.
Secara sederhana peserta didik ialah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau kelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Sementara menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 4 berbunyi ”Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.”
Sementara menurut Ghozi Yusuf dalam bukunya Ilmu Pendidikan tahun 1977 mengatakan Anak Didik dalam pengertian pendidikan adalah calon manusia dewasa (yang bersifat potensiil) yang dalam keadaan tumbuh dan berkembang. (Ghozi Yusuf, 1977; 10)
Sehingga peserta didik adalah manusia yang berusaha mengembangkan potensinya melalui pendidikan.
2. Fungsi dan Peran Peserta Didik
Mengacu pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 23 yang berbunyi ”Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam menyelenggarakan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana dan prasarana”.
Oleh karena itu, Peserta didik sebagai bagian anggota masyarakat adalah segmen dari sumber daya pendidikan berfungsi dan berperan mensukseskan dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dengan bersungguh-sungguh di dalam mengikuti proses belajar mengajar di sekolah. Peserta didik dari semua tingkatan pendidikan, adalah generasi penerus estafet perjuangan bangsa. Kunci kemajuan bangsa ada di tangan generasi mudanya yang salah satunya adalah peserta didik. Terlebih barometer kemajuan sebuah negara adalah dari perkembangan ilmu pengetahun dan teknologinya, dimana keduanyalah yang membangun sivilisasi. Karenaya maksimalisasi peran peserta didik, memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi progresivitas suatu bangsa.
3. Mainstream Peserta Didik Yang Ideal
Dengan tetap mengacu pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V Peserta Didik Pasal 12 Ayat; 1. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak;
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
c. Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya
d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya
e. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara
f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak meuyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan
2. Setiap peserta didik berkewajiban ;
a. Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan
b. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Maka dapat dikatakan bahwa peserta didik yang ideal adalah mampu menempatkan diri dengan baik dengan melaksanakan hak dan kewajiban secara proporsional, dengan memaksimalkan potensi dirinya demi kemajuan diri pribadi peserta didik dan terutama out putnya nanti mampu memberikan kontribusi real untuk bangsa dan negara serta masyarakat luas.
MJ. Langeveld dalam Ghozi Yusuf (1977) mengatakan anak didik yang ideal adalah yang telah mencapai kedewasaan baik jasmani maupun rohani. Dari Segi Jasmani yakni bila jasmani telah sempurna pertumbuhannya, tidak dapat berkembang dan tumbuh lagi, dengan ciri-ciri:
a. Gerak gerik mulai tenang
b. Sikap kaku, malu kekanak-kanakan telah hilang
c. Sudah mulai gemar bekerja
Sedangkan dari segi ruhani; apabila anak sudah dapat berdiri sendiri (self standing) yakni sudah dapat berkreasi sendiri, berkarya sendiri dan mencukupi kebutuhan sendiri, dengan ciri-ciri:
a. Telah mampu berusaha sendiri dalam mencapai cita-cita hidupnya
b. Sanggup memegang teguh pendirian yang dipilihnya
c. Sanggup melaksanakn kewajiban tertentu
d. Sanggup mengadakan pemilihan dan melaksanakan norma-norma yang diyakini kebenarannya (Ghozi Yusuf , 1977; 12)
Sementara anak yang sudah matang untuk mengenyam pendidikan di sekolah memiliki ciri-ciri:
a. Anak sudah mengetahui atau mengakui wibawa orang lain baik dari orang tua maupun guru
b. Anak telah dapat melaksanakan tugas-tugas yang sederhana
c. Anak telah dapat bergaul di luar lingkungan keluarganya
d. Anak telah mampu untuk belajar dalam mata pelajaran-mata pelajaran dasar seperti matematik, menulis dan membaca
e. Anak telah dapat berbahasa, baik secara aktif maupun pasif (Ghozi Yusuf , 1977; 13)
Dengan demikian, maka peserta didik yang ideal adalah yang memenuhi ciri-ciri kematangan fisik dan psikis serta mampu melaksanakan hak dan kewajibannya secara proporsional sesuai dengan undang-undang.



A. Interaksi dan Tujuan Pendidikan
1. Interaksi Pendidik dan Peserta Didik
Interaksi antara manusia merupakan syarat mutlak bagi tercapainya perkembangan jiwqa yang sehat dan sempurna. Pertentangan antara manusia seringkali disebabkan karena kurangnya komunikasi, yaitu timbulnya kurang pengertian atau hubungan yang tidak baik atau bahkan salah paham. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam hubungan antara manusia. Demikian pula, komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan antara guru dan murid. Bagaimana komunikasi atau interaksi itu berlangsung? Untuk menciptakan interaksi belajar mengajar yang bergairah bagi anak didik tentu saja tidak terlepas dari peranan metode dan alat motivasi yang dipilih sebagai penunjang pencapaian tujuan pengajaran.
Menurut M. Uzer Usman menjelaskan proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi yang edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajr. Interaksi dalam peristiwa proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan guru dan siswa, tetapi merupakan interaksi edukatif. (M. Uzer Usman, 1990; 1)
Harus disadari pula mengajar dan belajar mempunyai fungsi yang berbeda, proses yang tidak sama dan terpisah. Perbedaan antara belajar dengan mengajar bukan hanya disebabkan mengajar dilakukan oleh seorang guru sedangkan proses belajar berlangsung di dalamnya. Dalam bukunya Thomas G mengatakan “Proses belajar mengajar secara efektif, itu berarti telah terbina suatu hubungan yang unik antara guru dengan murid, proses itu sendiri adalah mata rantai yang menghubungkan antara guru dengan murid.” (Thomas G, ; 3)
Thomas G menegaskan “Kualitas hubungan guru-murid adalah penting bila guru ingin efektif dalam mengajar apapun, mata pelajaran apapun, isi bidang studi apapun, kettampilan apapaun, nilai atau norma apapun, semua dapat dibuat menarik dan mengasyikkan anak-anak apabila diberikan oleh guru yang telah mempelajari bagaimana menciptakan hubungan saling menghargai antara guru dan murid. ” (Thomas G, op cit hal,5)
Sedangkan menurut Sardiman AM bahwa “Hubungan guru dengan siswa di dalam proses belajar mengajar merupakan faktor yang sangat menentukan. Bagaimanapun sempurnanya metode yang dipergunakan, namun jika hubungan guru-siswa merupakan hubungan yang tidak harmonis, maka dapat menciptakan suatu kekeliruan yang tidak diinginkan. ” (Sardiman AM, op cit, hal 144)
Dari apa yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa kalau ingin berhasil dalam mengajar, ingin apa yang disampaikan guru didengar dan diterima oleh siswanya dengan baik, maka guru harus berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan hubungan baik dan harmonis dengan para siswanya. Untuk itu guru perlu perlu mengadakan komunikasi dan hubunganbaik dengan anak didik. Hal ini terutama agar guru mendapatkan informasi secara lengkap mengenai anak didik. Dengan mengetahui keadaan dan kriteria anak didik ini, maka akan sangat membantu bagi guru dan siswa dalam upaya menciptakan proses belajar mengajar yang optimal. Menurut Sardiman, untuk hal di atas, ada hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Segala bentuk kekakuan dan ketakutan harus dihilangkan dari perasaan anak didik, tetapi sebaliknya harus dirangsang sedemikian rupa, sehingga sifat terbuka, berani mengemukakan pendapat dan segala masalah yang dihadapinya.
2. Semua tindakan guru terhadap anak didik harus selalu mengandung unsur kasih sayang, ibarat orang tua dengan anaknya, guru harus bersifat sabar, ramah, terbuka
3. Diusahakan guru dan anak didik dalam suatu kebersamaan orientasi agar tidak menimbulkan suasana konflik (Sardiman AM. Op cit, h 150)
Dan yang harus diingat oleh guru adalah dalam mengadakan komunikasi, hubungan yang harmonis dengan anak didik itu tidak boleh disalah gunakan. Dengan sifat ramah, kasihsayang dan saling keterbukaan yang kemudian dapat memperoleh informasi mengenai diri anak didik secara lengkap ini semata-mata demi kepentingan belajar anak didik, tidak boleh untuk kepentingan guru, apalagi untuk maksud-maksud pribadi guru itu sendiri.
Suharsimi Arikunto, juga mengemukakan pendapat Thomas G: “Sebagai guru yang manusia biasa, mereka menginginkan dekat dengan siswanya, ingin berhasil, yang juga manusia pernah frustasi, pernah merasa kalah dengan siswanya sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak, dan sebagainya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa model hubungan yang baik antara guru dengan siswa adalah apabila guru dan siswa sama-sama pernah merasa menang dan merasa kalah.” (Suharsimi Arikunto, 1990; 39)
Menurut Singgih dan Yulia Singgih, ada dua cara yang ditempuh oleh guru dalam mendekati muridnya:
1. Pendekatan terpusat pada guru (Pedagogis-red). Di sini, semua aktivitas dan inisiatif ditentukan oleh guru. Mereka dianggap tidak mampu belajar tanpa pengawasan ketat. Di sini murid lebih pasif, mereka melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, bukan atas dasar kesadaran, tetapi karena takut. Guru acapkali menanamkan pola sikap serba mengancam pada murid-muridnya, sehingga muridnya pun hanya patuh bila ada ancaman. Murid-murid mengeluarkan pendapatnya hanya bila diminta. Suasana kelas menjadi lesu, apatis penuhh ketakutan dan menekan. Dengan cara ini, murid-murid cenderung untuk secepat mungkin dibentuk, karena murid tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri.
2. Pendekatan terpusat pada murid (Andragogis-red). Guru berprinsip bahwa anak patut didengar pendapatnya. Murid ikut menetukan proses belajar mengajar di kelas. Persoalan yang timbul, tidak diselesaikan oleh guru sendiri, melainkan murid diberi kesempatan untuk ikut memikirkan persoalan, sehingga diharapkan ikut bertanggung jawab terhadap tindakannya
Dari hal di atas maka sudah semestinya interaksi yang dilakukan antara Pendidik dan Peserta Didik menggunakan pola pendekatan andragogis dengan tambahan memperhatikan faktor-faktor yang memberi kesuksesan hubungan antara pendidik dan peserta didik.


2. Tujuan Pendidikan Nasional
Sebagai tujuan pokok penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, maka grand goalsnya adalah sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 Ayat 3 ”Pemerintah Mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang” dan Ayat 5 ”Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Seiring dengan grand goals tersebut, maka derivation goals pendidikan nasional ialah sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan Pasal 3 ”Pendidikan Nasional Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
3. Sinergi Pendidik dan Peserta Didik Dalam Mencapai Tujuan Pendidikan Nasional
MJ. Langeveld mengatakan tentang manusia dan pendidikan sebagai berikut: Homo Educable (manusia itu dapat dididik), Homo Educandum (manusia itu dapat mendidik) dan Homo Educandus (manusia itu dapat dididik dan dapat mendidik). Sehingga pada dasarnya manusia untuk pertamakalinya menjadi insan yang dididik, untuk kemudian mendidik dan titik akhirnya mampu mensinergikan diri menjadi makhluk yang bisa dididik dan mampu mendidik.
Seirama pendapat Langeveld di atas, Imannuel Kant menyampaikan ”Manusia dapat menjadi manusia hanya karena pendidikan, ia tidak lain daripada hasil pendidikan”. (Ghozi Yusuf, 1977, 40-41). Di sinilah penempatan subjek pendidikan sebagai manusia yang holistik dan eklektik, artinya pendidikan menempatkan manusia menjadi makhluk yang lebih utuh baik mental dan moralnya, fisik dan psikisnya. Esensinya pendidikan memanusiakan manusia menjadi makhluk yang bermartabat dan beradab serta berbudaya.
Pendidik dan Peserta Didik merupakan dua jenis status yang dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan peran fungsional dalam wilayah aktivitas yang terbingkai dalam wadah Geo-Education (dunia Pendidikan), yang keduanya biasa disebut Subjek Pendidikan. Sebagai subjek pendidikan masing-masing posisi yang melekat pada kedua belah pihak tersebut mewajibkan kepada mereka untuk memainkan seperangkat peran berbeda sesuai dengan konstruksi struktural lingkungan pendidikan yang menjadi wadah kegiatan mereka. Antara pendidik dan peserta didik terikat oleh suatu tata nilai terpola yang menopang terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan posisi yang diperankan.
Semenjak penyusunan perencanaan pengajaran sampai pada evaluasi pengajaran telah melibatkan proses hubungan timbal balik antara guru dan murid baik secara langsung maupun tidak langsung demi mencapai tujuan kegiatan pendidikan. Tentu saja melihat ciri khas tujuan tersebut mengindikasikan bahwa iklim dan orientasi belajar mengajar selalu mengupayakan terjalinnya transformasi nilai substansi pendidikan agar sampai pada level pemahaman para murid dengan indikasi terpenuhinya kriteria peningkatan kemampuan pribadi murid sebagaimana Tujuan kegiatan Pembelajaran yang dikemukakan Bloom pada 1956 yakni kemampuan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik.










BAB III.
PENUTUP
Kesimpulan
Konklusi yang dapat diambil dari pemaparan berbagai sumber di atas, maka pendidik yang ideal ialah yang memenuhi kriteria profesionalitas sebagai pendidik sebagaimana Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di samping tetap mengikuti perkembangan zaman dengan transformasi nilai profesionalitas pendidik di era globalisasi dengan mengadopsi berbagai diskursus pendidikan.
Sedangkan Peserta Didik yang ideal ialah yang mampu menempatkan hak dan kewajibannya sebagai peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya sesuai Undang-undang, demi mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sinergi antara Pendidik dan Peserta Didik dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan interaksi yang kondusif, dialogis, demokratis dan konstruktiflah yang mampu menciptakan progresivitas bangsa di sektor pendidikan.
Pendidikanlah yang menciptakan perubahan sivilisasi, sebab dengan pendidikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pilar modernisasi akan semakin transformatif dan memberikan kontribusi real bagi progresivitas suatu bangsa, melalui progresivitas pola pikir warga negaranya.












DAFTAR PUSTAKA
AM, Sardiman, 1992, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Press.
Arikunto, Suharsimi, 1990, Manajemen Pengajaran, Bandung: Remaja Rosda Karya.
DG, Singgih dan Yulia Singgih DG, 1995, Psikologi Perkembangan anak dan Remaja, ___________: PT. BPK Gunung Mulia.
G, Thomas, 1995, Guru Yang Efektif, Jakarta: CV. Rajawali.
Marland, Michael, 1990, Seni Mengelola Kelas, ________: Dahara Prize.
Nasution, S, _______, Sosiologi Pendidikan, _________: Bumi Aksara.
Proyek P2MPD. 2000. Fasilitator dalam Pendidikan Kemitraan (Materi IV-4-1). Jakarta
Senjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sindhunata. 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Kanisius
Sudjana, Nana, 1996, Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar, ________: Sinar baru Al Gensindo.
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Usman, M. Uzer, 1990, Menjadi Guru Profesional, Bandung: remaja Rosda Karya.
Yusuf, Ghozi, 1977, Ilmu Pendidikan, Jombang: _______________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar