Rabu, 19 Februari 2014

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

Sebagai Pengganti dari Undang-undang nomor 8 tahun 1974 juncto Undang-undang nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, Tentang Aparatur Sipil Negara pada tanggal 15 Januari 2014, sebelumnya RUU ini telah disahkan oleh DPR RI sejak tanggal 19 Desember 2013. Aparatur Sipil Negara UU No. 5 Tahun 2014 2014 APARATUL SIPIL NEGARA ABSTRAK : bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti. Dasar Hukum : Pasal 20 dan Pasal 21 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perka Lemsaneg ini mengatur tentang : Penilaian dan Penetapan TPP, meliputi : Ketentuan Umum yang memuat istilah-istilah dimaksud dalam Peraturan ini; Asas, Prinsip, Dasar, serta kode etik dan kode perilaku; Jenis, Status dan Kedudukan; Fungsi, Tugas, dan Peran; Jabatan ASN; Hak dan Kewajiban; Kelembagaan; Manajemen ASN; Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi; Pegawai ASN yang menjadi pejabat negara; Organisasi; Sistem Informasi ASN; Penyelesaian Sengketa; Ketentuan Peralihan; Ketentuan Penutup. Lampiran peraturan ini, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Kepala Lemsaneg ini. CATATAN : - Mulai berlaku pada tanggal diundangkan; - Ditetapkan pada tanggal 15 Januari 2014; - Diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014; VI. Manajemen PPPK Jenis jabatan yang dapat diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) diatur dengan Peraturan Presiden. Selanjutnya, setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. “Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud dilakukan untuk jangka waktu minimal 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan, dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri,” bunyi Pasal 94 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. UU ini menegaskan, setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi calon PPPK setelah memenuhi persyaratan. Pengadaan calon PPPK sebagaimana dimaksud, dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, dan pengangkatan menjadi PPPK. Adapun penerimaannya dilakukan melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan Instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan. “Pengangkatan calon PPPK ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian, dengan masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja,” bunyi Pasal 98 Ayat (1,2) UU ini. Apakah PPPK dapat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)? UU ini menjawab, PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS. Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut UU No. 5/2014 ini, pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PPK berdasarkan beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan resiko pekerjaan. Selain gaji, PPPK dapat menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK, dilakukan dengan hormat karena: a. Jangka waktu perjanjian kerja berakhir; b. Meninggal dunia; c. Atas permintaan sendiri; d. Perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pengurangan PPPK; atau e. Tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja yang disepakati. Pemutusan hubungan perjanjikan kerja PPPK dilakukan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena: a. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan tidak berencana; b. Melakukan pelanggaran disiplin PPPK tingkat berat; atau tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati sesuai dengan perjanjian kerja. Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan tidak dengan hormat karena: a. Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UU 1945; b. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum; c. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; dan d. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan berencana. Terhadap PPPK ini, menurut Pasal 106 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa: a. Jaminan hari tua; b. Jaminan kesehatan; c. Jaminan kecelakaan kerja; d. Jaminan kematian; dan e. Bantuan hukum. “Perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kemarian dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional,” bunyi Pasal 106 Ayat (2) UU tersebut. Sementara bantuan hukum sebagaimana dimaksud berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya. VIII. Jadi Pejabat Negara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan, pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak mendaftar sebagai calon. Adapun PNS yang diangkat menjadi Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi, BPK, Komisi Yudisial. KPK; c. Menteri dan setingkat menteri; d. Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; dam pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang , menurut Pasal 123 Ayat (1) UU ini, diberhentikan sementara dari jabatannya, dan tidak kehilangan status sebagai PNS. “Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud diaktifkan kembali sebagai PNS,” bunyi Pasal 123 Ayat (2) UU. No. 5/2014. Adapun PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota DPR/DPRD; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon. Menurut UU ini, PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 123 Ayat (1) dapat menduduki jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrasi, atau jabatan fungsional sepanjang tersedia lowongan jabatan. “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat,” bunyi Pasal 124 Ayat (2) UU No. 5/2014. IX. Organisasi dan Penyelesaian Sengketa Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia, yang memiliki tujuan menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN, dan mewujudkan jiwa korps ASN sebagai pemersatu bangsa. Sementara untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN, menurut UU No. 5/2014 ini, diperlukan Sistem Informasi ASN, yang diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi antar-Instansi Pemerintah. Sistem Informasi ASN memuat seluruh informasi dan data pegawai ASN, yang meliputi: a.Data riwayat hidup; b. Riwayat pendidikan formal dan non formal; c. Riwajat jabatan dan kepangkatan; d. Riwayat penghargaan, tanda jasa, atau tanda kehormatan; e. Riwayat pengalaman berorganisasi; f. Riwayat gaji; g. Riwayat pendidikan dan latihab; h. Daftar penilaian prestasi kerja; i. Surat keputusan; dan j. Kompetensi. Menurut UU ini, sengketa pegawai ASN diselesaikan melalui upaya administratif, yang terdiri dari keberatan dan banding administratif. Keberatan diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dengan memuat alasan keberatan, dan tembusannya disampaikan kepada pejabat yang berwenang mengukum; adapun banding diajukan kepada badan pertimbangan ASN. X. Ketentuan Peralihan Pada Bab Peralihan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan, pada saat UU ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan penyetaraan: a. jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah non kementerian setara dengan jabatan pimpinan tinggi utama; b. jabatan eselon Ia dan eselon Ib setara dengan jabatan pimpinan tinggi madya; c. jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi pratama; d. jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator; e. jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan f. jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan pelaksana. “Penyetaraan sampai dengan berlakunya pelaturan pelaksanaan mengenai jabatan ASN dalam UU ini,” bunyi Pasal 131 UU tersebut. Adapun menyangkut Sistem Informasi ASN, menurut Pasal 133, paling lama tahun 2015 dilaksanakan secara nasional. Sementara Pasal 134 menegaskan, peraturan pelaksanaan UU ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. Sedangkan Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) harus dibentuk paling lama 6 (enam) bulan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu diundangkan. “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” tegas Pasal 141 UU. NO. 5/2014 yang diundangkan pada 15 Januari 2014 itu. VII. Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan, pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan masdya sebagaimana dimaksud dilakukan pada tingkat nasional,” bunyi Pasal 108 Ayat (2) UU tersebut. Adapun pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS, yang dilakukan secara terbuka dan kompetitif pada tingkat nasional atau antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. Menurut UU No. 5/2014 ini, jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu dapat berasald ari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden. Selain itu, jabatan pimpinan tinggi dapat pula diisi oleh prajurit TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) setelah mengundurkan diri adari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif. Adapun untuk jabatan pimpinan tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi Instansi Pemerintah, yang terdiri dari unsur internal maupun eksternal Instansi Pemerintah yang bersangkutan,” bunyi Pasal 110 Ayat (1,3) UU tersebut. Dalam UU ini juga ditegaskan, dalam membentuk panitia seleksi pengisian jabatan pimpinan tinggi, Pejabat Pembina Kepegawaian berkoordinasi dengan Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Ketentuan mengenai pengisian jabatan pimpinan tinggi ini dapat dikecualikan pada Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan KASN. “Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan Pegawai ASN, wajib melaporkan secara berkala kepada KASN untuk mendapatkan persetujuan baru,” bunyi Pasal 111 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 itu. VII.a. Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Pusat Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan/atau madya, panitia seleksi Instansi Pemerintah memilih 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (sayu) lowongan jabatan. Tiga nama calon pejabat yang ter[ilih disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian. Selanjutnya, Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon sebagaimana dimaksud kepada Presiden. “Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau madya,” bunyi Pasal 112 Ayat (4) UU ini. Adapun untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. Selanjutnya, panitia seleksi memilih 3 (tiga) nama untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan yang disanpaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang (pejabat yang memiliki kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN). “Pejabat Pembina Kepegawaian lalu memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon yang diusulkan dengan memperhatikan pertimbangan Pejabat yang Berwenang untuk ditetapan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama,” bunyi Pasal 113 Ayat (4) UU No. 5/2014 itu. Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi, yang selanjutnya memilih 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan. Tiga nama calon itu diserahkan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian untuk selanjutnya diusulkan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Presiden akan memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya. Adapun pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. Selanjutnya, panitia seleksi mengusulkan 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang. Pejabat Pembina Kepegawaian akan memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon untuk ditetapkan dan dilantik sebagai pejabat pembina tinggi pratama. “Khusus untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang memimpin sekretariat daerah kabupaten/kota sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota dikoordinasikan dengan gubernur,” bunyi Pasal 115 Ayat (5) UU ini. UU ini menegaskan, Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti pejabat pimpinan tinggi selama 2 (dua) tahun tehritung sejak pelantikan pejabat pimpinan tinggi, kecuali pejabat pimpinan tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan tertentu. Selain itu, penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan madya sebelum 2 (dua) tahun dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden. “Jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun, dan dapat diperpanjang berdasarkan pencaaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan berkoordinasi dengan KASN,” bunyi Pasal 117 Ayat (1,2) UU No. 5/2014 itu