Sabtu, 31 Januari 2009

LANDASAN DAN AZAS PENDIDIKAN DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL

TUGAS TERSTRUKTUR
MAKALAH INDIVIDU
MATA KULIAH
PENGANTAR PENDIDIKAN

LANDASAN-LANDASAN DAN AZAS PENDIDIKAN
DALAM MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL

Dosen Pembimbing:
Drs. Agus Wedi, M.Pd











Oleh:

14 Ma’shum Syah



KELAS A
PROGRAM AKTA IV
INSTITUT KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN BUDI UTOMO
(IKIP BUDI UTOMO)
MALANG
2009


LANDASAN-LANDASAN DAN AZAS PENDIDIKAN
DALAM MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN
1. Apakah Landasan-landasan dan Azas Pendidikan itu?
2. Bagaimana hubungan pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?
3. Bagaimana Pendidikan menghadapi Globalisasi dan Abad XXI?
BAB II. PEMBAHASAN
A. Landasan-landasan dan Azas Pendidikan
A.1. Landasan-landasan Pendidikan
1. Landasan Filosofis
a. Pengertian Landasan Filosofis
1. Esensialisme
2. Perenialisme
3. Pragmatisme dan Progressivisme
4. Rekonstruksionisme
b. Pancasila sebagai Landasan Filosofis-Ideologis
2. Landasan Hukum
1) Pancasila sebagai Landasan Idiil,
2) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Landasan Konstitusional,
3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai landasan pelaksanaan Sistem Pendidikan secara nasional,
4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan bagi subjek pendidikan, yakni pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik,
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ialah landasan standarisasi pendidikan nasional/penjaminan mutu pendidikan secara nasional, dan
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan adalah landasan bagi pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sebagai landaan pelaksanaan dari UU Sisdiknas.
3. Landasan Sosiologis
a. Pengertian Landasan Sosiologis
b. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
4. Landasan Kultural
a. Pengertian Landasan Kultural
b. Kebudayaan Sebagai Landasan Kultural Sistem Pendidikan Nasional
5. Landasan Psikologis
a. Pengertian Landasan Psikologis
b. Perkembangan Peserta Didik Sebagai Landasan Psikologis
6. Landasan Ilmiah dan Teknologi
a. Pengertian Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sebagai Landasan Ilmiah
A.2. Azas-azas Pokok Pendidikan
1. Azas Tut Wuri Handayani
2. Azas Belajar Sepanjang Hayat
3. Azas Kemandirian Dalam Belajar
B. Hubungan Pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
C. Pendidikan dalam menghadapi Globalisasi dan abad XXI
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA





LANDASAN-LANDASAN DAN AZAS PENDIDIKAN
DALAM MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL

BAB I.
PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak dari sejumlah landasan serta pengindahan sejumlah azas-azas tertentu. Landasan dan azas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan pendidikan tersebut adalah landasan filosofis, hukum, sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk menjemput masa depan.
Membicarakan masalah pendidikan memang tiada habisnya, bisa dari perspektif manapun dan dari unsur apapun yang terkandung dalam dunia pendidikan itu sendiri. Memang pendidikan kita, khususnya konteks Negara kita, terkadang ironi, dan terlalu mengidealkan sesuatu yang sangat sulit terlaksana. Gap antara des sein dari tujuan pendidikan dan des solen dari hasil usaha mencapai tujuan, seringkali mengecewakan.
Oleh karena itu, hasil amandemen ke-4 Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 telah mengamanatkan perubahan system pendidikan nasional kita dan memandatkan penganggaran sector pendidikan hingga mencapai 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Artinya pemerintah mulai berupaya mereformasi perhatiannya pada pendidikan dengan memberikan suprastruktur yang baik yakni lahirnya Sistem Pendidikan Nasional yang baru dan infrastruktur dengan memberikan anggaran pendidikan yang jauh lebih banyak dari sebelumnya. Layak diberi penghargaan, pada titik usaha perbaikan pendidikan itu sendiri.
Terlebih seringkali pendidikan, hanya berjalan dalam rel pendidikan an sich dan tidak pernah bersinggungan dan dikaitkan dengan kehidupan real dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Meski dari segi metode bias dikatkan sudah ada upaya untuk mengoperasionalkan pendidikan dan disinkronkan dengan konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atau disinkronkan dengan realitas di masyarakat melalui metode kontekstual.
Namun, demikian sudahkah modal pendidikan hanya cukup dengan upaya pemerintah saja melalui reformasi pendidikan dari sisi suprastruktur dan infrastruktur? Bagaimana pendidikan kita mampu menjawab tantangan zaman? Berbagai persoalan tadi kiranya menjadi latar belakang bagi lahirnya diskursus yang kami ajukan, yakni dengan permasalah berikut:
1. Apakah Landasan-landasan dan Azas Pendidikan itu?
2. Bagaimana hubungan pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?
3. Bagaimana Pendidikan menghadapi Globalisasi dan Abad XXI?
Ketiga persoalan tersebut akan kami kupas secara sistematis dalam bab berikutnya, melalui Library Research dan analisa kami pribadi untuk selanjutnya kami konklusikan diakhir bab.




















BAB II.
PEMBAHASAN
A. Landasan-landasan dan Azas Pendidikan
Dalam Sub Bab ini akan memusatkan paparan dalam berbagai landasan dan azas pendidikan, serta beberapa hal yang berkaitan dengan penerapannya. Landasan-landasan pendidikan tersebut adalah filosofis, hukum, sosiologis, kultural, psikologis, serta ilmiah dan teknologi. Sedangkan azas yang dikaitkan adalah azas Tut Wuri Handayani, belajar sepanjang hayat, kemandirian dalam belajar.
A.1. Landasan-landasan Pendidikan
1. Landasan Filosofis
a. Pengertian Landasan Filosofis
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandangaan dalam filsafat pendidikan, menyangkut keyakianan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Berbagai aliran filsafat yang kita kenal sebenarnya cukup banyak, namun akan kami fokuskan hanya pada lima aliran filsafat yakni: Esensialisme, Perenialisme, Pragmatisme dan Progressivisme, dan Rekonstruksionisme
1. Esensialisme
Esensialisme adalah mazhab pendidikan yang mengutamakan pelajaran teoretik (liberal arts) atau bahan ajar esensial.
2. Perenialisme
Perenialisme adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan (perenial) yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal.


3. Pragmatisme dan Progressivisme
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis, di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan tradisional.
4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.
b. Pancasila sebagai Landasan Filosofis-Ideologis
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Jo. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
2) Landasan Hukum
Sebagaimana kita ketahui bersama, landasan dan azas pendidikan kita jelas tak lepas dari ideologi negara kita yakni Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di negara kita sebagaimana tertuang dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jo TAP MPR No. V/MPR/1973 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978). Selain itu pancasila, ialah Filosophische Grondslag atau Way of Life (pandangan hidup). Sehingga semua aktivitas apapun di negara kita jelas berlandaskan dan berazaskan pancasila, termasuk dunia pendidikan. Namur demikian, turunan dasar hukum dari pendidikan kita cukup banyak, di antaranya sebagaiman berikut di bawah ini yaang kami fokuskan hanya pada enam landasan hukum, yakni:
1) Pancasila sebagai Landasan Idiil,
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa Kedudukan dan Fungsi Pancasila cukup banyak, yakni:
a. Sebagai Jiwa Bangsa Indonesia, artinya Pancasila melekat erat pada aktivitas lehidupan bangsa Indonesia
b. Sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, maksudnya Pancasila merupakan sikap mental, tingkah laku dan amal yang menjadi ciri khas Bangsa Indonesia
c. Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, artinya Pancasila sebagai petunjuk, penuntun dan pegangan sikap bangsa Indonesia
d. Sebagai Falsafah Hidup Bangsa Indonesia maksudnya, Pancasila diyakini memiliki kebenaran
e. Sebagai Weltanschauung/Philosophische Gronslag, artinya Pancasila sebagai pandangan dunia atau pandangan hidup
f. Sebagai Perjanjian Luhur Rakyat Indonesia, yakni Pancasila telah disepakati dan disetujui oleh Rakyat Indonesia
g. Sebagai Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia, maksudnya Pancasila menjadi cita-cita Bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat adil dan makmur (Sosialisme Indonesia)
h. Sebagai Dasar Negara Republik Indoensia, yaitu Pancasila sebagai dasar pedoman dalam mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan negara
i. Sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum, sebagaimana tertuang dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jo TAP MPR No. V/MPR/1973 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978)
j. Sebagai Landasan Idiil, yaitu Pancasila sebagai landasan Pembentukan GBHN (dulu) termasuk landasan GBPP
Berdasarkan kedudukan dan fungsi Pancasila di atas, jelaslah bahwa Pancasila merupakan landasan dasar pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Sebab, Pancasila sebagai Jiwa bangsa yang melekat pada segala aktivitas bangsa, termasuk pendidikan. Demikian pula Pancasila merupakan Pandangan hidup, yang memberi petunjuk, penuntun dan pegangan sikap dalam melaksanakan Pendidikan. Terlebih pancasila jelas-jelas merupakan sumber dari segala sumber hukum, yang artinya segala produk hukum pendidikan jelas berdasarkan pancasila dan segala penyelenggaraan negara juga berdasarkan Pancasila. Lebih jauh lagi, sebagai cita-cita bangsa Indonesia, maka Pancasila menjadi tujuan dan cita-cita bagi dunia pendidikan termasuk menjadikan peserta didik memiliki kepribadian Pancasila. Jelaslah, bahwa Pancasila merupakan landasan paling dasar dan azas paling pokok dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
2) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Landasan Konstitusional,
Dalam alenia keempat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan tujuan bernegara kita, yang salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang berbunyi:
”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 di atas, secara eksplisit jelas disebutkan tujuan bernegara kita salah satunya ialah mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam rangka mencapai masyarakat yang dicita-citakan dengan didasarkan pada Pancasila sebagai ideologi Negara.
Begitu juga, dalam batang tubuh Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 BAB XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31, ayat:
(1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikam
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
Jelaslah kiranya berdasarkan Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 Ayat 1 sampai dengan 5, mengamanatkan bahwa setiap warga negara memiliki hak mengenyam pendidikan, utamanya p[ada pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Guna kesuksesan penyelenggaraan pendidikan, maka Undang-undang Dasar tahun 1945 mengamanatkan dua puluh persen dari APBN dan APBN digunakan untuk pembiayaan pendidikan. Juga dalam pasal tersebut memandatkan kepada pemerintah untuk menciptakan sistem pendidikan nasional guna mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, guna kemanfaatan dan kemaslahatan bangsa dan dunia. Sehingga cukup gamblanglah, bahwa Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 menjadi landasan konstitusional bagi pelasanaan sistem pendidikan nasional kita.
3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai landasan pelaksanaan Sistem Pendidikan secara nasional,
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdiri atas sejumlah bab yang berisi seluruh sistem pendidikan, diantaranya:
Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan, Pasal 2; Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 3; Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi pesreta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara De Yure dan Eksplisit dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional tersebut di atas bahwa Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dna Undang-undang dasar Republik Indonesia tahun 1945. Sementara itu, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar tahun 1945. Sedangkan tujuan pendidikan nasional, yakni untuk berkembangnya potensi pesreta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, yang merupakan derivasi dari Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 UUD NKRI tahun 1945.
Selain dari pada itu, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut juga memuat segala komponen sistem pendidikan nasional, meliputi: Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, Hak dan Kewajiban warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah, Peserta Didik, Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, Pendidikan Tinggi, Pendidikan Nonformal, Pendidikan Informal, Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Kedinasan, Pendidikan Keagamaan, Pendidikan Jarak Jauh, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, Bahasa Pengantar; Wajib Belajar; Standar Nasional Pendidikan; Kurikulum; Pendidik dan Tenaga Kependidikan; Sarana dan Prasarana Pendidikan; Pendanaan Pendidikan, Tanggung Jawab, Sumber Pendanaan Pendidikan, Pengelolaan Dana Pendidikan, Pengalokasian Dana Pendidikan; Pengelolaan Pendidikan, Badan Hukum Pendidikan; Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah, Evaluasi, Akreditasi dan Sertifikasi; Pendirian Satuan Pendidikan; Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Lembaga Negara Lain; Pengawasan; Ketentuan Pidana; Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Sehingga, segala pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan didasarkan pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ini, dengan tambahan derivasinya, yaitu tentang Guru dan Dosen yang dibuatkan sendiri dasar undang-undannya dan PP tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan serta standar nasional pendidikan juga dengan PP tersendiri.
4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan bagi subjek pendidikan, yakni pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik,
Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1 ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah” dan Ayat 2 ”Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.”
Prinsip dasar adanya undang-undang ini adalah pengakuan akan kedudukan dan penghargaan terhadap profesi guru dan dosen, yang di antaranya harus didasarkan pada prinsip profesionalitas. Hal itu tekmaktub jelas pada Undnag-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab III Prinsip Profesionalitas Pasal 7 Ayat 1 ”Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.”
Prinsip profesionalitas dari Guru dan Dosen tersebut masih harus ditambah dengan Kompetensi yang harus dimiliki, yang tertuang dalam Bab IV Guru, Bagian Kesatu; Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi, Pasal 10 Ayat 1; ”Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi; kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.
Dengan demikian undang-undang tentang guru dan dosen ini lebih menitik beratkan bagaimana guru dan dosen menjadi lebih profesional, sebab keduanya sebagai subjek pendidikan yang bertugas menghantarkan peserta didik agar sukses dan berhasil dalam belajarnya dan tujuan lebih jauhnya agar tujuan pendidikan nasional bisa dicapai. Sebab misi dari undang-undang ini adalah;
1. Mengangkat martabat guru dan dosen
2. Menjamin hak dan kewajiban guru dna dosen
3. Meningkatkan kompetensi guru dan dosen
4. Memajukan profesi serta karier guru dan dosen
5. Meningkatkan mutu pembelajaran
6. Meningkatkan mutu pendidikan nasional
7. Mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antar daerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi
8. Mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antar daerah, dan
9. Meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu
Sehingga nampak jelas, fungsi pendidikan ini demi meningkatkan kompetensi dan profesionalitas guru dan dosen (yang memang vital perannya) yang nantinya diharapkan juga mampu meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan nasional, serta mengurangi kesenjangan antar daerah. Sementara demi adanya standarisasi pendidikan nasional, maka pemerintah menerbitkan PP tentang standar nasional pendidikan.
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ialah landasan standarisasi pendidikan nasional/penjaminan mutu pendidikan secara nasional, dan
Lahirnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ini, memang amanat dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003. Dimaksudkan demi pemerataan dan penghilangan kesenjangan, sekaligus penjaminan mutu pendidikan agar setara secara nasional. Di antaranya meliputi berbagai standar, yakni:
Standar Isi, Pasal 5
1. Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
2. Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.
Standar Proses, Pasal 19
1. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Standar Kompetensi Lulusan, Pasal 25
1. Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
2. Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah.
Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Pasal 28
1. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik
(3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.
Standar Sarana dan Prasarana, Pasal 42
1. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
2. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Standar Pengelolaan: Standar Pengelolaan Oleh Satuan Pendidikan, Pasal 49
1. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas
2. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi
Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah Daerah, Pasal 59
1. Pemerintah Daerah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program:
a. wajib belajar;
b. peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah;
c. penuntasan pemberantasan buta aksara;
d. penjaminan mutu pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah
e. Daerah maupun masyarakat;
f. peningkatan status guru sebagai profesi;
g. akreditasi pendidikan;
h. peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan
i. pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan.
Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah, Pasal 60
1. Pemerintah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program:
a. wajib belajar;
b. peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi;
c. penuntasan pemberantasan buta aksara;
d. penjaminan mutu pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah
e. maupun masyarakat;
f. peningkatan status guru sebagai profesi;
g. peningkatan mutu dosen;
h. standarisasi pendidikan;
i. akreditasi pendidikan;
j. peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional, dan global;
k. pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan; dan
Penjaminan mutu pendidikan nasional.
Standar Pembiayaan, Pasal 62
1. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal
2. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap
3. Biaya personal sebagaimana meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik
4. Biaya operasi satuan pendidikan meliputi:
a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
c. biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
Standar Penilaian Pendidikan, Pasal 63
1. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
2. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.
Sehingga, jelaslah bahwa sebagai dasar dan landasan standarisasi pendidikan nasional, PP Nomor 19 tahun 2005 ini menstandarkan diantaranya; Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, baik; oleh Satuan Pendidikan, Pemerintah Daerah dan Pemerintah, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian Pendidikan. Kesemua ini mengamanatkan penyamaan mutu pendidikan di semua sector dan jenjang serta seluruh elemen pendidikan.
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan adalah landasan bagi pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sebagai landaan pelaksanaan dari UU Sisdiknas.
Lahirnya PP nomor 55 tahun 2007 ini merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang".
Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut "Pendidikan Agama".
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu:
(1.) Untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama;
(2.) Dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama;
(3.) Pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Sehingga dengan demikian jaminan peningkatan mutu pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sesuai dengan agama-agama yang ada di Indonesia terjamin, dan dapat melandasi segala mata pelajaran dan mata kuliah dengan nilai-nilai agama masing-masing peserta didik.
3) Landasan Sosiologis
a. Pengertian Landasan Sosiologis
Dasar sosiologis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan dan karakteristik masyarakat. Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiolagi pendidikan meliputi empat bidang:
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain.
2. Hubungan kemanusiaan.
3. Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya.
4. Sekolah dalam komunitas,yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya.

b. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan komplek. Terkait dengan hal ini, Syaiful Sagala juga memaparkan bahwa Kebutuhan Masyarakat dan Perkembangan Masyarakat juga menjadi Landasan Pengembangan Kurikulum. (Syaiful Sagala, 2008:251)
Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan KeBhineka tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah (umpamanya dengan pelajaran PPKn, Sejarah Perjuangan Bangsa, dan muatan lokal), maupun jalur pendidikan luar sekolah (program kesetaraan, Kejar Paket A, Kejar Paket B, Kejar Paket C dan lain-lain)
4) Landasan Kultural
a. Pengertian Landasan Kultural
Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dilestarikan/ dikembangkan dengan jalur mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baiksecara formal maupun informal.
Anggota masyarakat berusaha melakukan perubahan-perubahan yang sesuai denga perkembangan zaman sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nlai-nilai, dan norma-norma baru sesuai dengan tuntutan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola-pola ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga.
b. Kebudayaan Sebagai Landasan Kultural Sistem Pendidikan Nasional
Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik di setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebineka tunggal ikaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini harsulah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara indonesia sebagai sisi ketunggal-ikaan.
5) Landasan Psikologis
a. Pengertian Landasan Psikologis
Dasar psikologis berkaitan dengan prinsip-prinsip belajar dan perkembangan anak. Pemahaman etrhadap peserta didik, utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan.
Sebagai implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik, sekalipun mereka memiliki kesamaan. Penyusunan kurikulum perlu berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman belajar yang akan dijadikan garis-garis besar pengajaran serta tingkat kerincian bahan belajar yang digariskan.
b. Perkembangan Peserta Didik Sebagai Landasan Psikologis
Pemahaman tumbuh kembang manusia sangat penting sebagai bekal dasar untuk memahami peserta didik dan menemukan keputusan dan atau tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh kembang itu secara efektif dan efisien.
6) Landasan Ilmiah dan Teknologi
a. Pengertian Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kebutuhan pendidikan yang mendesak cenderung memaksa tenaga pendidik untuk mengadopsinya teknologi dari berbagai bidang teknologi ke dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang berkaitan erat dengan proses penyaluran pengetahuan haruslah mendapat perhatian yang proporsional dalam bahan ajaran, dengan demikian pendidikan bukan hanya berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar IPTEK dan calon pakar IPTEK itu. Selanjutnya pendidikan akan dapat mewujudkan fungsinya dalam pelestarian dan pengembangan iptek tersebut.
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sebagai Landasan Ilmiah
Kebutuhan pendidikan yang mendesak cenderung memaksa tenaga pendidik untuk mengadopsinya teknologi dari berbagai bidang teknologi ke dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang berkaitan erat dengan proses penyaluran pengetahuan haruslah mendapat perhatian yang proporsional dalam bahan ajaran, dengan demikian pendidikan bukan hanya berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar IPTEK dan calon pakar IPTEK itu. Selanjutnya pendidikan akan dapat mewujudkan fungsinya dalam pelestarian dan pengembangan iptek tersebut.
A.2. Azas-azas Pokok Pendidikan
Azas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusu s di Indonesia, terdapat beberapa azas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Diantara azas tersebut adalah Azas Tut Wuri Handayani, Azas Belajar Sepanjang Hayat, dan azas Kemandirian dalam belajar.
1. Azas Tut Wuri Handayani
Sebagai azas pertama, Tut Wuri Handayani merupakan inti dari Sistem Among Perguruan. Azas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dewantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho dan Ing Madyo Mangun Karso.
Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan azas yaitu:
(a.) Ing Ngarso Sung Tulodho ( jika di depan memberi contoh)
(b.) Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat)
(c.) Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan)
2. Azas Belajar Sepanjang Hayat
Azas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Kurikulum yang dapat merancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal.
(a.) Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa depan.
(b.) Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.
3. Azas Kemandirian Dalam Belajar
Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siap untuk ulur tangan bila diperlukan.
Perwujudan azas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebagai fasilitator dan motivator. Salah satu pendekatan yang memberikan peluang dalam melatih kemandirian belajar peserta didik adalah sistem CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif).
B. Hubungan Pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Jelas dipahami bahwa manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Sebab, MJ. Langeveld mengatakan tentang manusia dan pendidikan sebagai berikut: Homo Educable (manusia itu dapat dididik), Homo Educandum (manusia itu dapat mendidik) dan Homo Educandus (manusia itu dapat dididik dan dapat mendidik). Sehingga pada dasarnya manusia untuk pertamakalinya menjadi insan yang dididik, untuk kemudian mendidik dan titik akhirnya mampu mensinergikan diri menjadi makhluk yang bisa dididik dan mampu mendidik. Seirama pendapat Langeveld di atas, Imannuel Kant menyampaikan ”Manusia dapat menjadi manusia hanya karena pendidikan, ia tidak lain daripada hasil pendidikan”. (Ghozi Yusuf, 1977, 40-41). Di sinilah penempatan subjek pendidikan sebagai manusia yang holistik dan eklektik, artinya pendidikan menempatkan manusia menjadi makhluk yang lebih utuh baik mental dan moralnya, fisik dan psikisnya. Esensinya pendidikan memanusiakan manusia menjadi makhluk yang bermartabat dan beradab serta berbudaya.
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 mennyebutkan Ayat 1 Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan Ayat 3 ”Pemerintah Mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang” dan Ayat 5 ”Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. Di sinilah letak hubungan pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat.
Apalagi Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.
Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.
Selain peran serta masyarkat melalui pendidikan berbasis masyarkaat, maka pengelolaan pendidikan jelas menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar tahun 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 Ayat 3. Sehingga, pendidikan itu sendiri sangat erat hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, negara wajib menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh warganya, membiayai pendidikan dasarnya dan mendanai penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimandatkan Undang-undang Dasar tahun 1945 sebanyak 20 % dari total APBN dan APBD. Sehingga, pemenuhan suprastruktur dan infrastruktur pendidikan menjadi tanggung jawab resmi pemerintah. Karenanya, tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan bukan sekedar ada di pundak pemerintah semata, namun peran serta masyarakat dan seluruh komponen bangsa dan pelaku pendidikanlah yang wajib memikulnya. Kesemua itu dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan pendidikan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan Pancasila serta sesuai dengan tujuan pendidikan yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan, Pasal 3; Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian, maka misi pendidikan nasional yang terdiri dari:
(1.) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bernutu bagi seluruh rakyat indonesia
(2.) Membantu memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar
(3.) Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral
(4.) Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global, dan
(5.) Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, ........ dapat diwujudkan.
Selaian itu, dalam persoalan kurikulum juga tak lepas dari faktor sosial kemasyarakatan. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syaiful Sagala dalam bukunya Konsep dan Makna Pembelajaran (2008). Dia menyebutkan bahwa, strategi perubahan dan pengembangan kurikulum, konteks sosial tidak dapat terlepas, artinya sistem sosial yang ada di masyarakat berpengaruh langsung dalam perubahan kurikulum. Sistem sosial tersebut mengandung konsep eksistensi individu di masyarakat dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Sejalan dengan hal itu John Dewey memandang pendidikan sebagai alat rekonstruksi sosial yang paling efektif, dengan membentuk individu dapat membentuk masyarakat. Pendidikan merupakan badan yang konstruktif untuk memperbaiki masyarakat dan membina masa depan yang lebih baik. Jadi kurikulum sebagai rekonstruksi sosial mengutamakan kepentingan sosial di atas kepentingan individu. Utamanya menurut Nasution (1990:24) ialah perubahan sosial atas tanggung jawab tentang masa depan masyarakat. (Syaiful Sagala, 2008:257).
Di sinilah eratnya hubungan pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebab antara pendidikan dan masyarakat terjadi simbiosis mutualisme, hubungan saling menguntungkan dan saling mempengaruhi.
Lebih jauh Dewan Konsorsium Pendidikan Indonesia (DKPI) menyebutkan komponen pelaksana kurikulum yang salah satunya adalah Masyarakat. DKPI menyebutkan bahwa Masyarakat adalah:
(1.) Kehidupan bermasyarakat berlandaskan nilai-nilai keagamaan, sosial, dan budaya. Sebagian nilai-nilai tersebut lestari, sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan IPTEK
(2.) Masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah normatif terhadap dunia pendidikan, dan
(3.) Kehidupan berrmasyarakat ditingkatkan mutunya oleh individu yang telah mampu mengembangkan dirinya melalui pendidikan. (Syaiful Sagala, 2008:258)
Dari uraian di atas begitu jelas dan gamblang bahwa peran serta masyarakat melalui pendidikan berbasis masyarakat dan segala pertimbangan dan kebijakan pendidikan termasuk pengembangan kurikulum juga di dasarkan pada masyarakat, menunjukkan antara dunia pendidikan dengan kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara tidak dapat dipisahkan. Keduanya setali tiga uang yang saling sinergi dan sama-sama memberikan pengaruh positif.
C. Pendidikan dalam menghadapi Globalisasi dan abad XXI
Globalisasi dengan jargonnya Global Village bahwa dunia ini sudah sebagaimana satu desa, yang tiada batas teritorial, tiada batas agama, ras, suku, bangsa, maupun golongan, menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan kita. Bagaimana tidak? 2020 nanti dijadwalkan menjadi pasar bebas sesuai dengan konvensi AFTA. Sehingga persaingan pasar begitu terbuka, dan adagium Strongest of The Fittest, yang kuat semakin kuat yang lemah bakat disikat, pastinya bukan sekedar lips service an sich. Dan hal itu jelas sekali tidak hanya berlaku bagi dunia perdagangan kita, yang kemungkinan diganyang oleh raksasa-raksasa negara super power dengan segala produk dagangnya. Akan tetapi dunia pendidikan kita tak ayal lagi juga bakal digilas, jika persiapan kita dan aplikasi serta implementasi pendidikan kita selalu ironi dan penuh dusta.
Bagaimana Geo Education kita mampu menjawab tantangan global ini? Memang gelombang pasang globalisasi tidak dapat kita bendung, kita filter apalagi kita counter. Hanya kembali pada diri sendirilah kesuksesan kita dalam persaingan Global dan Abad XXI ini. Kita tahu kunci sukses peradaban suatu negara terletak pada kemajuann dan perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Informasi, yang kesemua itu amat bergantung dari sistem pendidikan yang dijalankan oleh negara tersebut. Khusus konteks negara kita, hal itu jelas sudah menjadi agenda dan prioritas para stake holder Pendidikan dan decition maker pemerintah kita. Minimal dari segi upaya, pemerintah telah berusaha memperbaiki mutu pendidikan kita.
Dari sisi suprastruktur pemerintah telah menyiapkan Sistem Pendidikan Nasional yang diterbitkan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003. Di situ memuat segala transformasi pendidikan yang diharapkan mampu memberikan progressivitas pendidikan kita dalam menjawab tantangan globalisasi dan Abad XXI. Selain itu, profesionalitas subjek pendidikan baik Pendidik, Tenaga Kependidikan dan Peserta Didik ditingkatkan melalui amanat undang-undang tersendiri tentang Guru dan Dosen. Sedangkan dari sisi Penjaminan Mutu diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang berfungsi menstandarkan segala komponen pendidikan, baik isi, prinsip, pendidik dan peserta didik, pengelolaan, dan evaluasi. Hal ini, juga diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi out put pendidikan, utamanya keberhasilan peserta didik dalam belajar, serta untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Disamping itu, dari sisi Infrastruktur, Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mengamanatkan pembiayaan pendidikan sebanyak 20% dari total APBN dan APBD, yang artinya pemenuhan media pendidikan akan lebih meningkat dibanding sebelumnya, dimana pendidikan kurang mendpaat perhatian pemerintah. Termasuk juga, pendidikan dasar menjadi tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaannya, juga sebagai wujud upaya mencerdaskan bangsa dan meningkatkan mutu pendidikan. Sinergitas antara suprastruktur dan infrastruktur, atau bisa dibilang software dan hardware pendidikan inilah yang diharapkan mampu memberikan jawaban atas tantangan globalisasi dan abad XXI. Meskipun, tidak 100% optimisme kita, bisa kita gantungkan pada keduanya, karena semua masih tergantung aplikasi dan emplementasinya di lapangan, namun setidaknya ada langkah konkret upaya kita sebagai bangsa untuk memajukan pendidikan, dan pada akhirnya bisa meningkatkan peradaban kita melalui ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, dan titik akhirnya tidak terlalu ketinggalan dalam persaingan global dan persaingan abad XXI.

BAB III.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari ulasan di atas dapatlah kita simpulkan, bahwa:
1. Landasan dan Azas Pendidikan
a. Landasan Pendidikan, terdiri atas: Landasan Filosofis, Landasan Hukum, Landasan Sosiologis, Landasan Kultural, Landasan Psikologis, dan Landasan Ilmiah dan Teknologi
b. Azas Pendidikan, meliputi: Azas Tut Wuri Handayani, Azas Belajar Sepanjang Hayat, dan Azas Kemandirian dalam Belajar
Kesemua Landasan dan Azas Pendidikan tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, atau merupakan landasan yang integral-holistik dan bukan parsial. Antara Landasan dan Azas Pendidikan, masing-masing saling mengisi dan melengkapi dunia pendidikan, baik dalam pencapaian tujuan pendidikan, pengembangan kurikulum maupun menciptakan tatanan sosial yang lebih baik serta memajukan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Informasi, guna menghadapi derasnya arus globalisasi yang nian meraja lela.
2. Hubungan antara pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Pendidikan kita merupakan beban bersama antara masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah. Karenanya peran serta masyarakat melalui Pendidikan Berbasis Masyarakat, dengan bantuan pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan di semua jenjang dan jalur pendidikan amatlah penting. Pencapaian tujuan pendidikan, harus merupakan kerjasama seluruh komponen bangsa secara sinergis dan berkesinambungan. Tanpa itu semua, tujuan pendidikan nasional mustahil bisa diwujudkan.
Sebab, antara dunia pendidikan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat erat kaitannya. Pendidikan dilahirkan dari, oleh dan untuk masyarakat, karena fungsi pendidikan memang memanusiakan manusia. Antara masyarakat dan dunia pendidikan terdapat hubungan interdependensi yang baik, artinya terdapat hubungan simbiosis mutualisme. Kebijakan dan segala sistem pendidikan didasarkan pada kebutuhan dan perkembangan masyarakat termasuk kurikulum pendidikan, sementara masyarakat juga aktif berperan serta melaksanakan pendidikan melalui pendidikan berbasis masyarakat dan peran serta masyarakat dalam berbagai segmen pendidikan. Sinergitas antara masyarakat dan pemerintah dalam mengelola dan melaksanakan pendidikan pada akhirnya akan melahirkan alunan melodi indah membidani lahirnya kader masyarakat, kader bangsa dan kader negara yang kan mampu menjawab tantangan global.
3. Pendidikan dalam menghadapi Globalisasi dan Abad XXI
Untuk bisa menjawab tantangan globalisasi, langkah yang telah ditempuh adalah melalui pemenuhan dan perbaikan suprastruktur, yakni sistem pendidikan yang baik dan pemenuhan infrastruktur yakni sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini juga harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang baik dengan melaksanakan pendidikan sesuai dengan standarisasi pendidikan. Juga perlu sekali mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Informasi (sebagai pilar peradaban), guna bisa menjawab tantangan zaman yang begitu dinamis dan penuh persaingan. Dipenuhinya suprastruktur dan infrastruktur pendidikan, masih memerlukan implementasi dan aplikasi yang tidak main-main. Semua komponen pendidikan baik pendidik, peserta didik dan orang tua didik, harus melaksanakan sesuai dengan yang digariskan dengan menyesuaikannya pada konteks kekinian.















DAFTAR PUSTAKA
Pancasila
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Sagala, Syaiful. 2008. ”Konsep dan Makna Pembelajaran”, Bandung: CV. Alfabeta, Cet. Ke-6, Juli 2008
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jo TAP MPR No. V/MPR/1973 dan TAP MPR No. IX/MPR/1978)
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Yusuf, Ghozi, 1977, Ilmu Pendidikan, Jombang: _______________














TUGAS TERSTRUKTUR
MAKALAH INDIVIDU
MATA KULIAH
PENGANTAR PENDIDIKAN

ANALISIS MASALAH PENDIDIKAN KONTEMPORER
(MENGGAGAS PENDIDIK YANG DEMOKRATIK-KONTEKSTUAL)

Dosen Pembimbing:
Drs. Agus Wedi, M.Pd











Oleh:

14 Ma’shum Syah



KELAS A
PROGRAM AKTA IV
INSTITUT KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN BUDI UTOMO
(IKIP BUDI UTOMO)
MALANG
2009


ANALISIS MASALAH PENDIDIKAN KONTEMPORER
(MENGGAGAS PENDIDIK YANG DEMOKRATIK-KONTEKSTUAL)

A. IDENTIFIKASI DAN DESKRIPSI SINGKAT MASALAH
Sudah cukup banyak karya ilmiah yang mengupas dan menganalisis berbagai problematik pendidikan, khususnya dari sisi subjek didik/peserta didik. Seakan-akan hanya peserta didiklah yang bersalah/kurang sempurna dari segala hal yang berkenaan dengan proses belajar mengajar atau pun di dalam proses pembelajaran. Pendidik seakan dewa yang begitu sempurna dan tidak tersentuh. Seakan sesuai keroto boso, bahwa Guru iku Biso dugugu lan ditiru, artinya guru harus selalu bisa didengar perintahnya dan ditiru tindakannya, karena guru adalah panutan dan suri tauladan. Dalam konteks masyarakat yang belum modern, hal itu bisa diterima sebab, memang dulu guru adalah segalanya dan sumber ilmu tunggal. Kini jaman modern ini menawarkan banyak alternatif yang bisa menjadi guru bagi peserta didik. Salah satunya adalah dunia maya/cyberspace (internet) yang bisa memberikan hal positif dan negatif tergantung pada neter terkait. Dari sinilah perlu digagas pendidik yang demokratik-kontekstual, yang tidak memakai pola lama di dalam mengajar dan mendidik peserta didiknya, namun lebih mengedepankan sisi demokrasi mengajar dan menyesuaikan dengan konteks yang ada di sekelilingnya.
Sudah menjadi commonsence, sebagai subjek pendidikan, mestinya antara Pendidik dengan Peserta Didik terjadi sinergi yang proporsional dalam mencapai tujuan pendidikan. Namun yang sering kita jumpai justru superioritas Pendidik atas Inferioritas Peserta Didik yang menjadikan stagnasi transformasi nilai pendidikan dan tiadanya progresivitas bangsa dari sektor pendidikan. Sebagai gambaran, problem interaksi antara Pendidik dengan Peserta didik yang masih belum harmonis, seperti:
1. Sebagian guru hubungannya dengan siswa kurang harmonis
2. Sebagian guru suka meremehkan siswa/kurang menghargai siswa
3. Sebagian guru (para wali kelas) kurang mengenal siswa
4. Sebagian guru kurang berkomunikasi dengan siswa di dalam kelas
5. Sebagian guru pilih kasih terhadap siswa lainnya
Berbagai problem tadi, kita kupas bersama dalam analisis masalah pada bab berikutnya dengan komparasi dan justifikasi dari para tokoh pendidikan.


B. ANALISIS MASALAH
Berdasarkan deskripsi masalah di atas, maka mestinya pendidika tidak menjalan pola jaman dulu (jadul), akan tetapi harus bisa menyesuaikan diri sesuai dengan ciri-ciri makhluk hidup yakni beradaptasi dengan lingkungannya. Artinya pendidik tidak menganggap dirinya selalu paling hebat dan tahu segalanya di hadapan murid. Akan tetapi terus belajar memperbaiki diri, karena banyaknya pilihan alternatif guru bagi peserta didik kita, sehingga bisa jadi murid kita lebih tahu banyak informasi daripada kita sebagai pendidiknya. Karenanya, penyelesaian berbagai persoalan Pendidik sebagaimana deskripsi masalah tersebut ialah:
1. Sebagian guru hubungannya dengan siswa kurang harmonis
Guru/pendidik harus membuka hubungan baik dengan siswanya agar terbina hubungan yang harmonis. Salah satunya dengan mengetahui berbagai kesulitan belajarnya dengan memberikan dorongan/motivasi belajar dan solusi maslaah yang hadapinya. Hal ini sebagaimana disampaikan Sardiman dalam bukunya “Sebab pendidik adalah subjek pendidikan, maka Pendidikan adalah usaha pendidik mempimpin anak didik dalam arti khusus misalnya memberikan dorongan atau motivasi dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak didik”. (Sardiman A.M, 1992; 139)
2. Sebagian guru suka meremehkan siswa/kurang menghargai siswa
Sikap meremehkan siswa atau peserta didik merupakan sikap yang kurang terpuji. Sebagai pendidik mestinya, hartus mengembangkan sikap demokratis, toleran dan bisa menerima keadaan peserta didik dengan apa adanya, baik kekurangan maupun kelebihannya. Dengan semakin banyaknya alternatif di dunia modern ini, maka guru bukan lagi tokoh utama dalam opera pendidikan. Akan tetapi lebih berperan sebagai manajer/pengelola pendidikan. Jika tidak pandai-pandai beradaptasi, tentu jamanlah yang bakal menggilasnya. Khusus dengan kontek pembelajaran, bisa jadi muridnya lebih banyak tahu informasi dibanding gurunya. Karena itu mengembangkan hal-hal yang positif, tidak mendominasi dan mengedepankan sikap simpatik akan lebih menunjang proses pembelajaran. Di antaranya bisa mengembangkan ketrampilan guru sebagaimana dipaparkan oleh M. Uzer Usman, , yakni:
1. Membantu mengembangkan sikap positif pada diri murid
a. Membantu siswa untuk menumbuhkan kepercayaan pada diri siswa
b. Membantu mengungkapkan buah pikir dan perasaan siswa
2. Bersikap terbuka dan luwes terhadap siswa
a. Menunjukkan sikap terbuka terhadap pendapat siswa
b. Menunjukkan sikap luwes baik di dalam maupun di luar kelas
c. Menerima siswa sebagaimana adanya (dengan kelebihan dan kekuarangannya)
d. Menunjukkan sikap simpatik dan sensitif terhadap perasaan dan kesulitan siswa
e. Menunjukkan sikap ramah, penuh pengertian dan kesadaran terhadap siswa
3. Menampilkan kegairahan dan kesungguhan dalam kegiatan mengajar
a. Menunjukkan kegairahan dalam mengajar
b. Memberikan kesan kepada siswa bahwa ia menguasai materi dan cara mengajarkannya
4. Mengelola Interaksi perilaku di dalam kelas
a. Mengembangkan hubungan antar pribadi yang sehat dan serasi
b. Memberikan tuntunan agar interaksi siswa terpelihara dengan baik
c. Menangani perilaku siswa yang tidak diinginkan (M. Uzer Usman; 127-128)
3. Sebagian guru (para wali kelas) kurang mengenal siswa
Sebagai seorang pendidik, tentunya guru dituntut untuk lebih mengenal siswanya. Terlebih jika guru tersebut berstatus sebagai walikelas. Sebagai walikelas tentunya selain mendidik dan mengajar peserta didiknya, sang pendidik juga harusnya bisa berperan sebagai ganti orang tua muird. Artinya segala persoalan dan kendala yang dihadapi peserta didik dalam belajar, pendidik bisa mengetahui dan membantu memberikan solusi. Hal itu sebagaimana digambarkan Sardiman. Dia mengemukakan pendapat Havighurst tentang peranan guru: “peranan guru di sekolah adalah sebagai pegawai dalam hubungan kedinasan, sebagai bawahan terhadap atasannya, sebagai kolega dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur disiplin, evaluator dan pengganti orang tua”. (Sardiman AM, 1992; 141).
4. Sebagian guru kurang berkomunikasi dengan siswa di dalam kelas
Komunikasi yang baik antara pendidik dan peserta didik merupakan kunci kesuksesan pendidik dalam mengajar dan mencapai tujuan pembelajaran. Jika komunikasi pendidik dengan peserta didiknya kurang, maka sudah bisa ditebak keberhasilannya dalam mengajar juga kurang. Maka dari itu, pendidik yang baik harus mampu berkomunikasi yang baik dengan peserta didiknya. Di sinilah guru dituntut menjadi teman yang baik dan menyenangkan dalam belajar. Hal itu jelas digambarkan oleh S. Nasution dalam bukunya Sosiologi Pendidikan. S. Nasution menyampaikan hasil penelitian Frank Hart tahun 1934 bahwa: “Guru yang disukai itu bila ia berperikemanusiaan, bersikap ramah, bersahabat, suka membantu dalam pelajaran, riang, gembira, mempunyai rasa humor, menghargai lelucon. Sifat-sifat yang dihargai murid itu sesuai dengan gambaran guru yang demokratis. Dan dalam penelitian lainnya didapatkan bahwa yang paling disenangai oleh para siswa adalah guru yang ramah, yang paling sering ikut serta dalam kegiatan rekreasi mereka, yang dapat dipercayakan soal-soal pribadi dan yang suka membantu dalam pelajaran. Singkatnya, secara umum guru yang disenangi ialah guru yang sering dimintai nasehat, yang mau diajak bercakap-cakap, tidak menunjukkan superioritasnya dalam pergaulannya sehari-hari dengan murid, selalu ramah, selalu berusaha memahami anak didiknya. Kalau guru itu disenangi siswanya, hal itu berarti hubungan guru dengan siswanya sudah terjalin dengan baik, dan kalau sudah demikian gru lebih mudah lagi dalam mengajar, membantu siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar dan lain-lain, sehingga prestasi siswa tentu akan lebih meningkat lagi. ”
5. Sebagian guru pilih kasih terhadap siswa lainnya
Sikap pilih kasih yang dilakukan oleh sebagian pendidik sudah harus dihilangkan. Mengedepankan aspek profesionalisme dan kompetensi sesuai dengan standar dalam PP No, 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan harus digalakkan. Karena fungsi pendidikan itu memanusiakan manusia, maka sebagai pendidik kita harus lebih memanusiakan peserta didik kita dengan mengembanngkan sikap demokratis. Hal ini sebagaimana peran pendidika yang disampaiakan oleh Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).













C. REKOMENDASI SOLUSI
Oleh karena pendidik kini lebih dituntut untuk menjadi pengelola proses pembelajaran dan menjadi fasilitator, maka problem seperti:
1. Sebagian guru hubungannya dengan siswa kurang harmonis
2. Sebagian guru suka meremehkan siswa/kurang menghargai siswa
3. Sebagian guru (para wali kelas) kurang mengenal siswa
4. Sebagian guru kurang berkomunikasi dengan siswa di dalam kelas
5. Sebagian guru pilih kasih terhadap siswa lainnya
Bisa dihindari dengan melaksanakan dan memerankan diri kita, benar-benar sebagai pendidik yang demokratik-kontekstual. Hal itu bisa dipupuk dengan meningkatkan sikap dan perilaku berikut agar pembelajaran sukses:
1. Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku utama dalam pembelajaran, maka sebagai fasilitator guru harus memberi kesempatan agar siswa dapat aktif. Upaya pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa bisa dilakukan sedikit demi sedikit.
2. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
3. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
4. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
5. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
6. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
7. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
8. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
9. Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
10. Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
11. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan

Selasa, 27 Januari 2009

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK

TUGAS TERSTRUKTUR
MAKALAH KELOMPOK II
MATA KULIAH
PENGANTAR PENDIDIKAN

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
(Subjek Pendidikan; Penentu Progresivitas Bangsa)

Dosen Pembimbing:
Drs. Agus Wedi, M.Pd








Oleh:
KELOMPOK II
12 Firmansyah 18 Hermelinda Mol
13 Vidia Soviana 19 Sari Ratna Hidayati
14 Ma’shum Syah 20 Samsul Huda
15 Anang Fauzi 21 Christina Maria Agustin
16 Ajizah Umami 22 Linda Mustika Hartiwi
17 Rahmat Marzuki

KELAS A
PROGRAM AKTA IV
INSTITUT KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN BUDI UTOMO
(IKIP BUDI UTOMO)
MALANG
2008

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
(Subjek Pendidikan; Penentu Progresivitas Bangsa)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN
1. Siapa yang disebut pendidik dan bagaimana idealnya?
2. Siapa yang disebut peserta didik dan bagaimana idealnya?
3. Apa tujuan pendidikan nasional dan bagaimana interaksi pendidik dengan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan nasional?
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pendidik
1. Terminologi Pendidik
2. Fungsi dan Peran Pendidik
3. Mainstream Pendidik Yang Ideal
B. Peserta Didik
1. Terminologi Peserta Didik
2. Fungsi dan Peran Peserta Didik
3. Mainstream Peserta Didik Yang Ideal
C. Interaksi dan Tujuan Pendidikan
1. Interaksi Pendidik dan Peserta Didik
2. Tujuan Pendidikan Nasional
3. Sinergi Pendidik dan Peserta Didik Dalam Mencapai Tujuan Pendidikan Nasional
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA







PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
(Subjek Pendidikan; Penentu Progresivitas Bangsa)

BAB I.
PENDAHULUAN
Pendidik dan anak didik, keduanya merupakan unsur paling vital di dalam proses belajar mengajar. Sebab, seluruh proses, aktivitas orientasi serta relasi-relasi lain yang terjalin untuk menyelenggarakan pendidikan selalu melibatkan keberadaan pendidik dan peserta didik sebagai aktor pelaksana atau subjek pendidikan. Hal itu seirama dengan pendapat Soemardhi Thaher, Sekjen PB PGRI yang menyatakan: ”Bagaikan sinetron dengan judul "meningkatkan mutu pendidikan" maka aktor atau pemain utamanya di lembaga pendidikan adalah "guru dan murid". Guru mengajar, murid belajar, guru mendidik, murid di didik, guru membimbing dan murid dibimbing, guru melatih, murid dilatih. Keduanya terlibat dalam proses pendidikan yang kreatif, dinamis dan demokratis dalam suasana kebatinan yang saling menyayangi, saling menghargai dan saling mempercayai.” (Soemardhi Thaher, anggota DPD-RI / Sekretaris Jenderal PB.PGRI)
Hal itu sudah menjadi syarat mutlak atas terselenggarakannya suatu kegiatan pendidikan. Dengan mendasarkan pada pengertian bahwa pendidikan berarti usaha sadar dari pendidik yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas peserta didik, terkandung suatu makna bahwa proses yang dinamakan pendidikan itu tidak akan pernah berlangsung apabila tidak hadir pendidik dan peserta didik dalam rangkaian kegiatan belajar mengajar. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan pilar utama terselenggarakannya aktivitas pendidikan.
Sebagai subjek pendidikan, mestinya antara Pendidik dengan Peserta Didik terjadi sinergi yang proporsional dalam mencapai tujuan pendidikan. Namun yang sering kita jumpai justru superioritas Pendidik atas Inferioritas Peserta Didik yang menjadikan stagnasi transformasi nilai pendidikan dan tiadanya progresivitas bangsa dari sektor pendidikan. Sebagai gambaran, problem interaksi antara Pendidik dengan Peserta didik yang masih belum harmonis, seperti:
1. Sebagian guru hubungannya dengan siswa kurang harmonis
2. Sebagian guru suka meremehkan siswa/kurang menghargai siswa
3. Sebagian guru (para wali kelas) kurang mengenal siswa
4. Sebagian guru kurang berkomunikasi dengan siswa di dalam kelas
5. Sebagian guru pilih kasih terhadap siswa lainnya
Selain itu, murid juga mempunyai problem tersendiri. Zaman modern ini mereka maknai sebagai zaman kebebasan. Guru yang mereka pilih seringkali adalah media elektronik dan media massa yang menyajikan gemerlapnya zaman globlalisasi. Yang menjadi perhatian mereka bukan ilmu pengetahuan dan teknologinya, melainkan live style dan pola pergaulan, sehingga mereka cenderung mengesampingkan guru real yang sering mengajar mereka di sekolah.
Beberapa problem di atas yang melatarbelakangi tema diskusi kita ”Pendidik dan Peserta didik (Subjek Pendidikan; Penentu Progresivitas Bangsa)”. Dan dari hal tersebut menimbulkan kegundahan di benak kami, hingga memunculkan pertanyaan:
1. Siapa yang disebut pendidik dan bagaimana idealnya?
2. Siapa yang disebut peserta didik dan bagaimana idealnya?
3. Apa tujuan pendidikan nasional dan bagaimana interaksi pendidik dengan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan nasional?
Ketiga masalah tersebut akan dikupas dalam Bab Pembahasan berdasarkan komentar dari praktisi dan pemerhati pendidikan dan tentunya analisa kami pribadi dalam mencapai klonklusi dari masalah yang kami ajukan.
















BAB II.
PEMBAHASAN
A.Pendidik
1. Terminologi Pendidik
Sebelum pembahasan mengenai guru kami eksplanasikan berdasarkan berbagai pendapat para tokoh pendidikan, harus kita sadari bahwa Pendidik memiliki banyak pengertian bergantung siapa yang mendefinisikannya. Terlebih kata pendidik belum begitu familiar di kalangan masyarakat luas. Yang banyak diketahui adalah tentang Guru dan profil guru.
Pengertian sederhana sebagaimana banyak dipahami orang, Guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik. Ada anggapan lain bahwa Guru itu siapapun yang bisa menularkan ilmu dan pengalamannya kepada kita. Entah itu disadari atau tidak, dari obrolan (informal), tulisan ataupun dari prestasi yang telah diraih.
Dari sinilah kami lebih menyepakati istilah Pendidik dari pada Guru, karena Pendidik lokusnya lebih luas dan komprehensif daripada Guru.
Hal itu sesuai yang tertera dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 6 berbunyi ”Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.” Selanjutnya dijelaskan pula dalam Bab XI Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 39 Ayat 2 ”Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi” dan Ayat 3 ”Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen”.
Sedangkan sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1 ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah” dan Ayat 2 ”Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.”
Ghozi Yusuf juga memakai istilah Pendidik dalam bukunya Ilmu Pendidikan yang terbit di tahun 1977. Menurutnya Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan (subjek pelaksana pendidikan). (Ghozi Yusuf, 1977; 9).
Meskipun kami lebih menyetujui istilah Pendidik, namun commonsense juga layak diikuti dengan menggunakan istilah guru. Seseorang dikatakan sebagai guru tidak cukup tahu sesuatu materi yang akan diajarkan, tetapi pertamakali ia harus merupakan seseorang yang memang memiliki kepribadian guru, dengan segala ciri tingkat kedewasaannya. Dengan kata lain, bahwa untuk menjadi seorang pendidik ia harus berkepribadian. Masalahnya yang terpenting adalah mengapa seorang guru itu dikatakan seorang pendidik? Guru memang seorang pendidik, sebab dalam pekerjaannya ia tidak hanya mengajar seseorang agar tahu beberapa hal, tetapi guru juga melatih beberapa ketrampilan dan terutama sikap mental anak didik. Mendidik sikap mental seseorang tidak hanya cukup mengajarkan sesuatu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan dididikkan, dengan guru sebagai idolanya.
2. Fungsi dan Peran Pendidik
Berbicara tentang fungsi dan peran pendidik, sebenarnya sudah sangat banyak difahami orang banyak. Terminologi pendidik itu sendiri sudah menunjukkan fungsi dan peran sang pendidik terhadap anak didiknya. Berbagai opini tentang peran dan fungsi pendidik juga sudah banyak dikemukakan oleh para tokoh pendidikan. Masing-masing memiliki sudut pandang sendiri. Karena itulah, sebagai perspektif awal tentang fungsi dan peran pendidik kami tohok dari Undang-undang Sisdiknas. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan tentang hak dan kewajiban Pendidik dalam Bab XI Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 40 Ayat:
1. Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh:
a. Penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai
b. Penghargaan yang sesuai dengan tugas dan prestasi kerja
c. Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas
d. Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual, dan
e. Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas
2. Pendidik dan Tenaga Kependidikan berkewajiban:
a. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis
b. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
c. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya
Sesuai dengan ketentuan lec specialis derogate lec generalis (hukum yang lebih khusus mengalahkan hukum yang lebih umum), maka peran pendidik lebih bijaksana kita lihat dari undang-undang guru dan dosen. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Kedudukan, Fungsi dan Tujuan, Pasal 4 berbunyi ”Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.” Pasal 5 ”Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.”
Sementara itu, peranan guru di sekolah ditentukan oleh kedudukanya sebagai orang dewasa, sebagai pengajar dan pendidik serta sebagai pegawai. Yang paling utama adalah kedudukaannya sebagai pengajar dan pendidik, yakni sebagai guru. Proses pendidikan banyak terjadi dalam interaksi sosial antara murid dan guru. Sifat interaksi ini banyak bergantung pada tindakan guru yang ditentukan antara lain oleh tipe peranan guru. Bagaimana reaksi murid terhadap peranan guru dapat diketahui dari ucapan murid tentang guru itu.
Sebagai lanjutan atau penyempurnaan peranan guru sebagai pendidik, maka harus berperan juga sebagai pembimbing. Membimbing dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan atau menuntun anak didik dalam perkembangannya dengan jalan memberikan lingkungan dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. (Sardiman A.M, 1992; 138).
Disamping fungsi-fungsi guru itu, yang juga penting adalah bagaimana guru melihat dirinya sendiri, apakah ia memandang dirinya sebagai pemimpin yang paling berkuasa, atau sebagai orang tua, sebagai teman yang lebih tua yang membantu murid kalau diperlukan. Pandangan ini akan ikut menentukan cork hubungan yang terjadi antara guru dengan murid. (Singgih D.G dan Yulia Singgih D.G,, 1995; 113).
Sebab pendidik adalah subjek pendidikan, maka Pendidikan adalah usaha pendidik mempimpin anak didik dalam arti khusus misalnya memberikan dorongan atau motivasi dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak didik. (Sardiman A.M, 1992; 139)
Sehubungan dengan perannya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing, maka diperlukan adanya berbagai peranan pada diri guru. Peranan guru ini akan senantiasa menggambarkan pola tingkah laku yang diharapkan dalam berbagai interaksinya, baik dengan siswa (yang terutama), sesama guru, maupun dengan staf lainnya. Sardiman mengemukakan pendapat Havighurst tentang peranan guru: “peranan guru di sekolah adalah sebagai pegawai dalam hubungan kedinasan, sebagai bawahan terhadap atasannya, sebagai kolega dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur disiplin, evaluator dan pengganti orang tua”. (Sardiman AM, 1992; 141).
Sedangkan menurut Nana Sudjana, peranan guru dalam pengajaran adalah:
1. Pemimpin belajar, artinya merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan dan mengontrol kegiatan siswa belajar
2. Fasilitator belajar, artinya memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya
3. Moderator belajar, yakni sebagai pengatur urusan kegiatan belajar siswa
4. Motivator belajar, ialah pendorong agar siswa mau melakukan kegiatan belajar
5. Evaluator belajar, adalah sebagai penilai yang objektif dan komprehensif. (Nana Sudjana, 1996; 32-35).
Menurut S. Nasution dalam bukunya Sosiologi Perndidikan menjelaskan “Peranan guru dalam hubungannya dengan murid bermacam-macam menurut situasi interaksi sosial yang dihadapinya, yakni situasi formal dalam proses belajar mengajar dalam kelas dan dalam situasi informal. Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar anak dalam kelas guru harus sanggup menunjukkan kewibawaan atau otoritasnya, artinya ia harus mampu mengendalikan, mengatur dan mengontrol kelakukan anak. Kalau perlu ia dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa anak belajar, melakukan tugasnya atau memmatuhi peraturan. Dengan kewibawaan ia menegakkan disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses belajar mengajar.” (S. Nasution, 1995; 92)
Dari apa yang dijelaskan di atas, jelas bahwa pelaksanaan peranan guru dalam penciptaan hubungan yang baik dengan anak didik dalam proses belajar mengajar dapat dilakukan dengan mengendalikan, mengatur, mengontrol kelakuan siswa di dalam proses belajar mengajar berlangsung, agar para siswa dapat belajar dengan tenang. Dan setiap kelakukan yang dapat menyinggung serta membuat siswa takut harus dihindari. Menciptakan hubungan baik antara guru dengan murid merupakan faktor terpenting keberhasilan guru dalam mengajar. Kualitas hubungan guru dengan murid sangat memegang peranan penting dalam menjalankan peranannya sebagai pengajar dan pendidik.
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Dari berbagai paparan di atas, maka menurut hemat kami peran Pendidik yang sesuai adalah sebagaimana tereksplisit dlam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sementara peran pendidik menurut berbagai tokoh adalah pengembangan dari prinsip dasar yang tereksplisit dalam kedua undang-undang tersebut.


3. Mainstream Pendidik Yang Ideal
Mainstream pendidik yang ideal memang masih meninggalkan pertentangan pendapat antara banyak opini yang berkembang dan dari perspektif siapa yang mengemukakan. Namun demikian, alangkah bijaksananya jika kita lihat terlebih dahulu undang-undang tentang guru dan dosen dan bagaimana profil pendidik yang ideal menurut yang tertera.
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab III
Prinsip Profesionalitas, Pasal 7 Ayat 1 ”Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.”
Selain itu dijelaskan pula pada Bab IV Guru, Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Pasal 20 Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa;
Dari esensi mainstream ideal pendidik dalam undang-undang di atas, maka derivasinya adalah berbagai pendapat tokoh berikut.
Bila seseorang mengajar, ini berarti ia telah mengemban tugas moral, yaitu tugas moral sebagai orang yang dianggap dapat menurunkan apa yang ia miliki untuk memberikan pengetahuannya. Tugas moralnya ialah dia tidak akan mengkhianati ilmu pengetahuannya, untuk menjadikan anak seorang manusia yang berguna. Inilah citra keguruan. Yang idela adalah, disamping guru mengajarkan ilmu pengetahuan, juga sebagai pengganti orang tua di sekolah, menyelami jiwa murid-muridnya.
Ghozi Yusuf mengatakan guru yang ideal, ialah yang memenuhi syar-syarat berikut:
1. Guru harus berijazah lahir maupun batin
2. Guru harus berbadan sehat ruhani kuat
3. Guru harus berbudi pekerti yang baik (luhur)
4. Guru itu harus sabar dan bijaksana
5. Guru harus mempunyai perasaan cinta terhadap anak didik
6. Guru itu harus berwibawa (gezag)
7. Guru harus bertanggung jawab moril maupun materiil
8. Guru harus berjiwa demokratis
9. Guru harus berjiwa nasional (Ghozi Yusuf, 1977; 9-10)
Menurut M. Uzer Usman bahwa: “Satu Prinsip pengajaran kelompok kecil dan perorangan adalah terjadinya hubungan akrab dan sehat antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa. Hal ini dapat terwujud apabila guru memiliki ketrampilan berkomunikasi secara pribadi yang diciptakan antara lain:
1. Mewujudkan kehangatan dan kepekaan terhadap kebutuhan siswa baik kelompok kecil maupun perorangan
2. Memberikan respon positif terhadap buah pikir siswa
3. Membangun hubungan yang saling mempercayai
4. Menunjukkan kesiapan untuk membantu siswa
5. Menerima perasaan siswa dengan penuh pengertian dan terbuka
6. Berusaha mengendalikan situasi sehingga siswa merasa aman, penuh pemahaman, dan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.” (M. Uzer Usman, op cit,h98-99)
Menurut Michael Marland dalam bukunya Seni Mengelola Kelas menyatakan “untuk menciptakan hubungan yang baik dengan murid adalah anda harus merencanakan tujuan jangka panjang, menciptakan bermacam-macam prosedur kelas yang teratur dan sistematis, yang memberi kesempatan bagi terciptanya hubungan baik. Hal ini dapat dilalui dengan cara, anda tidak boleh meremehkan. Jangan berpendapat bahwa andalah orang yang menyenangkan yang pertamakali mereka temui. Selain itu, anda juga tidak boleh beranggapan bahwa kemauan anda untuk mengadakan hubungan baik akan mendapatkan hasil yang sepadan. Anda harus bekerja keras, dengan penuh kesabaran dan keahlian. Anda harus merencanakan tujuan jangka panjang, menciptakan bermacam-macam prosedur kelas yang teratur dan sistematis, yang memberi kesempatan bagi terciptanya hubungan baik tersebut. Berikan senyuman anda pada saat yang tepat. Senyuman itu akan memberi manfaat besar secara psikologis. Namun sangat besar bahayanya jika anda banyak mengobral senyum pada kelas yang baru anda masuki, hanya ingin mendapat kepopulera.” (Michael Marland, 1990; 17)
Selanjutnya Michael mengatakan “Kedisiplinan menciptakan suasana damai, yang sangat perlu untuk tumbuhnya hubungan yang positif. Hal kedua, yaitu menciptakan hubungan baik dengan menempatkan diri kita sebagi guru. Pengajaran yang kiota berikan janganlah hanya sebagai objek, tetapi kita hendaknya mewujudkan seolah-olah sebagai sesuatu yang istimewa, sesuatu yang tidak mungkin didapat dari orang lain. Seorang guru jangan terperangkap dalam pandangan sosial masyarakat terhadap murid-muridnya yang berasal dari kelas-kelas sosisal tertentu. Ketiag, merencanakan motivasi yang setinggi-tingginya. Dan hal yang keempat, guru adalah seorang pemimpin, mengingat tanggung jawabnya terhadap sekelompok murid. Sebagai guru, anda harus mampu menguasai sekelompok murid tersebut. Kemampuan untuk itu harus dipergunakan secara tegas dan sangat hati-hati, tetai harus ada. Tyidak ada gunanya, anda merasa khawatir untuk menguasai murid-murid, entah dengan alasan untuk menjaga hubungan baik atau pun untukmemungkinkan perkembangan individu mereka”. (Michael Marland, 1990; 23-38)
Ketrampilan yang harus dimiliki guru menurut M. Uzer Usman, yakni:
1. Membantu mengembangkan sikap positif pada diri murid
a. Membantu siswa untuk menumbuhkan kepercayaan pada diri siswa
b. Membantu mengungkapkan buah pikir dan perasaan siswa
2. Bersikap terbuka dan luwes terhadap siswa
a. Menunjukkan sikap terbuka terhadap pendapat siswa
b. Menunjukkan sikap luwes baik di dalam maupun di luar kelas
c. Menerima siswa sebagaimana adanya (dengan kelebihan dan kekuarangannya)
d. Menunjukkan sikap sipatik dan sensitif terhadap perasaan dan kesulitan siswa
e. Menunjukkan sikap ramah, penuh pengertian dan kesadaran terhadap siswa
3. Menampilkan kegairahan dan kesungguhan dalam kegiatan mengajar
a. Menunjukkan kegairahan dalam mengajar
b. Memberikan kesan kepada siswa bahwa ia menguasai matari dan cara mengajarkannya
4. Mengelola Interaksi perilaku di dalam kelas
a. Mengembangkan hubungan antar pribadi yang sehat dan serasi
b. Memberikan tuntunan agar interaksi siswa terpelihara dengan baik
c. Menangani perilaku siswa yang tidak diinginkan (M. Uzer Usman, op cit, h; 127-128)
Dalam bukunya Sosiologi Pendidikan S. Nasution menyampaikan hasil penelitian Frank Hart tahun 1934 bahwa: “Guru yang disukai itu bila ia berperikemanusiaan, bersikap ramah, bersahabat, suka membantu dalam pelajaran, riang, gembira, mempunyai rasa humor, menghargai lelucon. Sifat-sifat yang dihargai murid itu sesuai dengan gambaran guru yang demokratis. Dan dalam penelitian lainnya didapatkan bahwa yang paling disenangai oleh para siswa adalah guru yang ramah, yang paling sering ikut serta dalam kegiatan rekreasi mereka, yang dapat dipercayakan soal-soal pribadi dan yang suka membantu dalam pelajaran. Singkatnya, secara umum guru yang disenangi ialah guru yang sering dimintai nasehat, yang mau diajak bercakap-cakap, tidak menunjukkan superioritasnya dalam pergaulannya sehari-hari dengan murid, selalu ramah, selalu berusaha memahami anak didiknya. Kalau guru itu disenangi siswanya, hal itu berarti hubungan guru dengan siswanya sudah terjalin dengan baik, dan kalau sudah demikian gru lebih mudah lagi dalam mengajar, membantu siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar dan lain-lain, sehingga prestasi siswa tentu akan lebih meningkat lagi. ”
Di lain pihak, Efektivitas dan efisiensi belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan mengenai peran guru sebagai fasilitator, maka sikap dan perilaku guru harus memperhatikan beberapa hal di bawah ini agar sukses:
1. Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku utama dalam pembelajaran, maka sebagai fasilitator guru harus memberi kesempatan agar siswa dapat aktif. Upaya pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa bisa dilakukan sedikit demi sedikit.
2. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
3. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
4. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
5. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
6. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
7. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
8. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
9. Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
10. Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
11. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan
Demikian mengenai bagaimana idealnya pendidik dengan mengacu dari sisi undang-undang dan mengkomparasikan derivasinya dari pendapat berbagai tokoh.

B. Peserta Didik
1. Terminologi Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya.
Secara sederhana peserta didik ialah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau kelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Sementara menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 4 berbunyi ”Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.”
Sementara menurut Ghozi Yusuf dalam bukunya Ilmu Pendidikan tahun 1977 mengatakan Anak Didik dalam pengertian pendidikan adalah calon manusia dewasa (yang bersifat potensiil) yang dalam keadaan tumbuh dan berkembang. (Ghozi Yusuf, 1977; 10)
Sehingga peserta didik adalah manusia yang berusaha mengembangkan potensinya melalui pendidikan.
2. Fungsi dan Peran Peserta Didik
Mengacu pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 23 yang berbunyi ”Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam menyelenggarakan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana dan prasarana”.
Oleh karena itu, Peserta didik sebagai bagian anggota masyarakat adalah segmen dari sumber daya pendidikan berfungsi dan berperan mensukseskan dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dengan bersungguh-sungguh di dalam mengikuti proses belajar mengajar di sekolah. Peserta didik dari semua tingkatan pendidikan, adalah generasi penerus estafet perjuangan bangsa. Kunci kemajuan bangsa ada di tangan generasi mudanya yang salah satunya adalah peserta didik. Terlebih barometer kemajuan sebuah negara adalah dari perkembangan ilmu pengetahun dan teknologinya, dimana keduanyalah yang membangun sivilisasi. Karenaya maksimalisasi peran peserta didik, memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi progresivitas suatu bangsa.
3. Mainstream Peserta Didik Yang Ideal
Dengan tetap mengacu pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V Peserta Didik Pasal 12 Ayat; 1. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak;
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
c. Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya
d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya
e. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara
f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak meuyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan
2. Setiap peserta didik berkewajiban ;
a. Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan
b. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Maka dapat dikatakan bahwa peserta didik yang ideal adalah mampu menempatkan diri dengan baik dengan melaksanakan hak dan kewajiban secara proporsional, dengan memaksimalkan potensi dirinya demi kemajuan diri pribadi peserta didik dan terutama out putnya nanti mampu memberikan kontribusi real untuk bangsa dan negara serta masyarakat luas.
MJ. Langeveld dalam Ghozi Yusuf (1977) mengatakan anak didik yang ideal adalah yang telah mencapai kedewasaan baik jasmani maupun rohani. Dari Segi Jasmani yakni bila jasmani telah sempurna pertumbuhannya, tidak dapat berkembang dan tumbuh lagi, dengan ciri-ciri:
a. Gerak gerik mulai tenang
b. Sikap kaku, malu kekanak-kanakan telah hilang
c. Sudah mulai gemar bekerja
Sedangkan dari segi ruhani; apabila anak sudah dapat berdiri sendiri (self standing) yakni sudah dapat berkreasi sendiri, berkarya sendiri dan mencukupi kebutuhan sendiri, dengan ciri-ciri:
a. Telah mampu berusaha sendiri dalam mencapai cita-cita hidupnya
b. Sanggup memegang teguh pendirian yang dipilihnya
c. Sanggup melaksanakn kewajiban tertentu
d. Sanggup mengadakan pemilihan dan melaksanakan norma-norma yang diyakini kebenarannya (Ghozi Yusuf , 1977; 12)
Sementara anak yang sudah matang untuk mengenyam pendidikan di sekolah memiliki ciri-ciri:
a. Anak sudah mengetahui atau mengakui wibawa orang lain baik dari orang tua maupun guru
b. Anak telah dapat melaksanakan tugas-tugas yang sederhana
c. Anak telah dapat bergaul di luar lingkungan keluarganya
d. Anak telah mampu untuk belajar dalam mata pelajaran-mata pelajaran dasar seperti matematik, menulis dan membaca
e. Anak telah dapat berbahasa, baik secara aktif maupun pasif (Ghozi Yusuf , 1977; 13)
Dengan demikian, maka peserta didik yang ideal adalah yang memenuhi ciri-ciri kematangan fisik dan psikis serta mampu melaksanakan hak dan kewajibannya secara proporsional sesuai dengan undang-undang.



A. Interaksi dan Tujuan Pendidikan
1. Interaksi Pendidik dan Peserta Didik
Interaksi antara manusia merupakan syarat mutlak bagi tercapainya perkembangan jiwqa yang sehat dan sempurna. Pertentangan antara manusia seringkali disebabkan karena kurangnya komunikasi, yaitu timbulnya kurang pengertian atau hubungan yang tidak baik atau bahkan salah paham. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam hubungan antara manusia. Demikian pula, komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan antara guru dan murid. Bagaimana komunikasi atau interaksi itu berlangsung? Untuk menciptakan interaksi belajar mengajar yang bergairah bagi anak didik tentu saja tidak terlepas dari peranan metode dan alat motivasi yang dipilih sebagai penunjang pencapaian tujuan pengajaran.
Menurut M. Uzer Usman menjelaskan proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi yang edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajr. Interaksi dalam peristiwa proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan guru dan siswa, tetapi merupakan interaksi edukatif. (M. Uzer Usman, 1990; 1)
Harus disadari pula mengajar dan belajar mempunyai fungsi yang berbeda, proses yang tidak sama dan terpisah. Perbedaan antara belajar dengan mengajar bukan hanya disebabkan mengajar dilakukan oleh seorang guru sedangkan proses belajar berlangsung di dalamnya. Dalam bukunya Thomas G mengatakan “Proses belajar mengajar secara efektif, itu berarti telah terbina suatu hubungan yang unik antara guru dengan murid, proses itu sendiri adalah mata rantai yang menghubungkan antara guru dengan murid.” (Thomas G, ; 3)
Thomas G menegaskan “Kualitas hubungan guru-murid adalah penting bila guru ingin efektif dalam mengajar apapun, mata pelajaran apapun, isi bidang studi apapun, kettampilan apapaun, nilai atau norma apapun, semua dapat dibuat menarik dan mengasyikkan anak-anak apabila diberikan oleh guru yang telah mempelajari bagaimana menciptakan hubungan saling menghargai antara guru dan murid. ” (Thomas G, op cit hal,5)
Sedangkan menurut Sardiman AM bahwa “Hubungan guru dengan siswa di dalam proses belajar mengajar merupakan faktor yang sangat menentukan. Bagaimanapun sempurnanya metode yang dipergunakan, namun jika hubungan guru-siswa merupakan hubungan yang tidak harmonis, maka dapat menciptakan suatu kekeliruan yang tidak diinginkan. ” (Sardiman AM, op cit, hal 144)
Dari apa yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa kalau ingin berhasil dalam mengajar, ingin apa yang disampaikan guru didengar dan diterima oleh siswanya dengan baik, maka guru harus berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan hubungan baik dan harmonis dengan para siswanya. Untuk itu guru perlu perlu mengadakan komunikasi dan hubunganbaik dengan anak didik. Hal ini terutama agar guru mendapatkan informasi secara lengkap mengenai anak didik. Dengan mengetahui keadaan dan kriteria anak didik ini, maka akan sangat membantu bagi guru dan siswa dalam upaya menciptakan proses belajar mengajar yang optimal. Menurut Sardiman, untuk hal di atas, ada hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Segala bentuk kekakuan dan ketakutan harus dihilangkan dari perasaan anak didik, tetapi sebaliknya harus dirangsang sedemikian rupa, sehingga sifat terbuka, berani mengemukakan pendapat dan segala masalah yang dihadapinya.
2. Semua tindakan guru terhadap anak didik harus selalu mengandung unsur kasih sayang, ibarat orang tua dengan anaknya, guru harus bersifat sabar, ramah, terbuka
3. Diusahakan guru dan anak didik dalam suatu kebersamaan orientasi agar tidak menimbulkan suasana konflik (Sardiman AM. Op cit, h 150)
Dan yang harus diingat oleh guru adalah dalam mengadakan komunikasi, hubungan yang harmonis dengan anak didik itu tidak boleh disalah gunakan. Dengan sifat ramah, kasihsayang dan saling keterbukaan yang kemudian dapat memperoleh informasi mengenai diri anak didik secara lengkap ini semata-mata demi kepentingan belajar anak didik, tidak boleh untuk kepentingan guru, apalagi untuk maksud-maksud pribadi guru itu sendiri.
Suharsimi Arikunto, juga mengemukakan pendapat Thomas G: “Sebagai guru yang manusia biasa, mereka menginginkan dekat dengan siswanya, ingin berhasil, yang juga manusia pernah frustasi, pernah merasa kalah dengan siswanya sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak, dan sebagainya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa model hubungan yang baik antara guru dengan siswa adalah apabila guru dan siswa sama-sama pernah merasa menang dan merasa kalah.” (Suharsimi Arikunto, 1990; 39)
Menurut Singgih dan Yulia Singgih, ada dua cara yang ditempuh oleh guru dalam mendekati muridnya:
1. Pendekatan terpusat pada guru (Pedagogis-red). Di sini, semua aktivitas dan inisiatif ditentukan oleh guru. Mereka dianggap tidak mampu belajar tanpa pengawasan ketat. Di sini murid lebih pasif, mereka melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, bukan atas dasar kesadaran, tetapi karena takut. Guru acapkali menanamkan pola sikap serba mengancam pada murid-muridnya, sehingga muridnya pun hanya patuh bila ada ancaman. Murid-murid mengeluarkan pendapatnya hanya bila diminta. Suasana kelas menjadi lesu, apatis penuhh ketakutan dan menekan. Dengan cara ini, murid-murid cenderung untuk secepat mungkin dibentuk, karena murid tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri.
2. Pendekatan terpusat pada murid (Andragogis-red). Guru berprinsip bahwa anak patut didengar pendapatnya. Murid ikut menetukan proses belajar mengajar di kelas. Persoalan yang timbul, tidak diselesaikan oleh guru sendiri, melainkan murid diberi kesempatan untuk ikut memikirkan persoalan, sehingga diharapkan ikut bertanggung jawab terhadap tindakannya
Dari hal di atas maka sudah semestinya interaksi yang dilakukan antara Pendidik dan Peserta Didik menggunakan pola pendekatan andragogis dengan tambahan memperhatikan faktor-faktor yang memberi kesuksesan hubungan antara pendidik dan peserta didik.


2. Tujuan Pendidikan Nasional
Sebagai tujuan pokok penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, maka grand goalsnya adalah sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 Ayat 3 ”Pemerintah Mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang” dan Ayat 5 ”Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Seiring dengan grand goals tersebut, maka derivation goals pendidikan nasional ialah sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan Pasal 3 ”Pendidikan Nasional Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
3. Sinergi Pendidik dan Peserta Didik Dalam Mencapai Tujuan Pendidikan Nasional
MJ. Langeveld mengatakan tentang manusia dan pendidikan sebagai berikut: Homo Educable (manusia itu dapat dididik), Homo Educandum (manusia itu dapat mendidik) dan Homo Educandus (manusia itu dapat dididik dan dapat mendidik). Sehingga pada dasarnya manusia untuk pertamakalinya menjadi insan yang dididik, untuk kemudian mendidik dan titik akhirnya mampu mensinergikan diri menjadi makhluk yang bisa dididik dan mampu mendidik.
Seirama pendapat Langeveld di atas, Imannuel Kant menyampaikan ”Manusia dapat menjadi manusia hanya karena pendidikan, ia tidak lain daripada hasil pendidikan”. (Ghozi Yusuf, 1977, 40-41). Di sinilah penempatan subjek pendidikan sebagai manusia yang holistik dan eklektik, artinya pendidikan menempatkan manusia menjadi makhluk yang lebih utuh baik mental dan moralnya, fisik dan psikisnya. Esensinya pendidikan memanusiakan manusia menjadi makhluk yang bermartabat dan beradab serta berbudaya.
Pendidik dan Peserta Didik merupakan dua jenis status yang dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan peran fungsional dalam wilayah aktivitas yang terbingkai dalam wadah Geo-Education (dunia Pendidikan), yang keduanya biasa disebut Subjek Pendidikan. Sebagai subjek pendidikan masing-masing posisi yang melekat pada kedua belah pihak tersebut mewajibkan kepada mereka untuk memainkan seperangkat peran berbeda sesuai dengan konstruksi struktural lingkungan pendidikan yang menjadi wadah kegiatan mereka. Antara pendidik dan peserta didik terikat oleh suatu tata nilai terpola yang menopang terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan posisi yang diperankan.
Semenjak penyusunan perencanaan pengajaran sampai pada evaluasi pengajaran telah melibatkan proses hubungan timbal balik antara guru dan murid baik secara langsung maupun tidak langsung demi mencapai tujuan kegiatan pendidikan. Tentu saja melihat ciri khas tujuan tersebut mengindikasikan bahwa iklim dan orientasi belajar mengajar selalu mengupayakan terjalinnya transformasi nilai substansi pendidikan agar sampai pada level pemahaman para murid dengan indikasi terpenuhinya kriteria peningkatan kemampuan pribadi murid sebagaimana Tujuan kegiatan Pembelajaran yang dikemukakan Bloom pada 1956 yakni kemampuan Kognitif, Afektif dan Psikomotorik.










BAB III.
PENUTUP
Kesimpulan
Konklusi yang dapat diambil dari pemaparan berbagai sumber di atas, maka pendidik yang ideal ialah yang memenuhi kriteria profesionalitas sebagai pendidik sebagaimana Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di samping tetap mengikuti perkembangan zaman dengan transformasi nilai profesionalitas pendidik di era globalisasi dengan mengadopsi berbagai diskursus pendidikan.
Sedangkan Peserta Didik yang ideal ialah yang mampu menempatkan hak dan kewajibannya sebagai peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya sesuai Undang-undang, demi mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sinergi antara Pendidik dan Peserta Didik dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan interaksi yang kondusif, dialogis, demokratis dan konstruktiflah yang mampu menciptakan progresivitas bangsa di sektor pendidikan.
Pendidikanlah yang menciptakan perubahan sivilisasi, sebab dengan pendidikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pilar modernisasi akan semakin transformatif dan memberikan kontribusi real bagi progresivitas suatu bangsa, melalui progresivitas pola pikir warga negaranya.












DAFTAR PUSTAKA
AM, Sardiman, 1992, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Press.
Arikunto, Suharsimi, 1990, Manajemen Pengajaran, Bandung: Remaja Rosda Karya.
DG, Singgih dan Yulia Singgih DG, 1995, Psikologi Perkembangan anak dan Remaja, ___________: PT. BPK Gunung Mulia.
G, Thomas, 1995, Guru Yang Efektif, Jakarta: CV. Rajawali.
Marland, Michael, 1990, Seni Mengelola Kelas, ________: Dahara Prize.
Nasution, S, _______, Sosiologi Pendidikan, _________: Bumi Aksara.
Proyek P2MPD. 2000. Fasilitator dalam Pendidikan Kemitraan (Materi IV-4-1). Jakarta
Senjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sindhunata. 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Kanisius
Sudjana, Nana, 1996, Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar, ________: Sinar baru Al Gensindo.
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Usman, M. Uzer, 1990, Menjadi Guru Profesional, Bandung: remaja Rosda Karya.
Yusuf, Ghozi, 1977, Ilmu Pendidikan, Jombang: _______________